JAKARTA, KOMPAS - Produksi udang windu (Penaeus monodon) atau black tiger mulai tahun ini digenjot untuk mendorong ekspor udang nasional. Pemerintah menargetkan nilai ekspor komoditas udang meningkat 1 miliar dollar AS hingga tahun 2021.
Berbeda halnya dengan varietas udang vaname yang indukannya bersumber dari impor, komoditas udang windu merupakan varietas asli Indonesia yang sebagian besar digarap pada tambak-tambak tradisional.
Direktur Produksi dan Usaha Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Umi Windriani, di Jakarta, Jumat (4/1/2019) mengemukakan, sentra produksi yang potensial digarap antara lain Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Pengembangan udang windu dilakukan dengan membenahi sistem logistik benih dan pembangunan broodstock center udang windu di Jepara (Jawa Tengah) dan Takalar (Sulawesi Selatan). “Pengembangan udang windu akan didorong berbasis ekosistem,” ujarnya.
Tahun 2016, produksi udang tercatat 128.655 ton atau naik 2,86 persen dibandingkan tahun 2015 sebesar 125.073 ton.
Pasar Ekspor
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), Budhi Wibowo mengemukakan, potensi pasar udang windu dinilai terbuka luas, karena suplai udang windu dunia berkurang. Saat ini, sebagian tambak udang windu di India dan Vietnam telah beralih ke tambak udang vaname.
“(Tambak udang windu) beralih ke udang vaname yang produktivitasnya lebih tinggi,” katanya.
Sementara itu, harga udang windu di dunia lebih tinggi 10-15 persen dibandingkan udang vaname untuk ukuran yang sama. Sebagian komoditas udang windu asal Indonesia diekspor ke Uni Eropa, antara lain dalam bentuk utuh dengan kepala (head on shell on ), serta ke Jepang dalam beragam bentuk misalnya tanpa kepala (head less) atau dikupas, udang dipencet (nobashi ebi) atau udang diberi roti (breaded shrimp).
Pengembangan udang windu tengah dilakukan antara lain di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Budidaya dilakukan dengan sistem mina padi, yakni memadukan varietas padi sawah air payau dan udang windu tengah dikembangkan pada lahan tidur seluas 1 hektar di Desa Lawallu, Kecamatan Soppengriaja.
“Ini merupakan mina padi pertama di dunia dengan menggunakan air payau. Kami ingin mendongkrak produksi udang windu yang sudah hampir 20 tahun mati suri,” kata Agus Cahyadi, Kepala bidang Riset Perikanan Budidaya Pusat Riset Perikanan KKP.
Pengembangan udang windu berbasis kelompok itu diperkirakan akan memasuki panen serentak pada akhir Januari 2019. Pihaknya menargetkan produksi udang windu itu untuk tahap awal mencapai 300 kg, sedangkan gabah kering 2 ton. Udang windu tersebut akan dipasarkan di pasar lokal.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.