JAKARTA, KOMPAS – Perawatan Infrastruktur perkeretaapian juga perlu memerhatikan aspek perubahan tata guna lahan. Hal itu terutama di kawasan-kawasan rawan longsor dan banjir.
Peneliti Laboratorium Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, kepada Kompas, Sabtu (5/1/2019), mengatakan, anjloknya perlintasan kereta api tidak hanya disebabkan belum optimalnya perawatan, pemeliharaan, dan pengawasan. Faktor lain yang menjadi penyebabnya adalah perubahan tata guna lahan di sekitar infrastruktur perkeretaapian.
"Perubahan tata guna lahan bisa menyebabkan perubahan aliran air dan pergerakan Tanah. Hal ini perlu dicermati juga apalagi setiap musim penghujan,” kata Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno saat dihubungi pada Sabtu (5/1/2019).
Dalam empat bulan terakhir sejak Oktober 2018 hingga Januari 2019, Kompas mencatat setidaknya ada satu kejadian gangguan kereta di setiap bulannya. Satu rangkaian kereta rel listrik (KRL) anjlok antara Stasiun Palmerah dan Kebayoran (Oktober 2018), satu rangkaian KRL rute Parung Panjang-Tanah Abang anjlok di wilayah Cisauk (November 2018).
Selanjutnya pada Desember 2018, jalur kereta api Jakarta-Bandung sempat tak bisa dilalui karena anjloknya kereta api kerja di KM 154, di antara Stasiun Padalarang dengan Stasiun Cilame, Kabupaten Bandung Barat. Kejadian terakhir, yaitu longsor di empat titik di jalur lintasan Kereta Api Pangrango rute Bogor-Sukabumi pada Rabu (2/1/2019) lalu.
“Meski anjlokan di perlintasan rel kereta api masih terjadi, namun menurut saat ini PT Kereta Api Indonesia semakin profesional dalam menanganinya. Untuk kejadian yang di Sukabumi saja bisa selesai dalam kurun waktu sekitar dua hari,” kata Djoko.
Senior Manager Humas PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi I Jakarta Edy Kuswoyo menyampaikan, perjalanan Kereta Api Pangrango rute Bogor-Sukabumi sudah normal setelah perbaikan selesai dilakukan di empat titik longsor di Desa Cibalung, Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Kompas, 5 Januari 2019)
“Hingga kemarin, pekerja masih memperkuat jalur yang terdampak longsor. Penguatan itu ditargetkan selesai pada hari Jumat. Saat ini kecepatan masih dibatasi 5 kilometer per jam. Jika telah selesai, kereta api bisa melaju dengan kecepatan normal, yaitu 60 kilometer per jam,” kata Edy.
Selain karena longsor, Direktur Jenderal Perkeretaapian Zulfikri mengatakan, anjlokan juga disebabkan oleh alat untuk merawat jalur. “Ada kemungkinan disebabkan oleh faktor sarana, misalnya kondisi bantalan kayu untuk menopang rel kurang baik,” katanya.
Untuk perawatan jalur kereta, Zulfikri mengatakan, itu menjadi kewajiban PT KAI yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019. Tahun ini anggaran mencapai sekitar Rp 1,1 triliun.
“Kami telah menandatangani kontrak dan menerima anggaran Perawatan dan Pengoperasian Prasarana Perkeretaapian Milik Negara atau Infrastructure Maintenance Operation (IMO) tahun 2019. Anggaran diberikan oleh Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perkeretaapian,” kata Zulfikri Jumat (4/1/2019) kemarin.
Meski demikian, Djoko mengingatkan, PT KAI harus lebih mengantisipasi anjlokan lewat pengawasan di titik-titik rawan longsor. Dalam catatan PT KAI, ada 307 titik rawan banjir, longsor, dan ambles di sepanjang jalur lintasan kereta api Jawa dan Sumatera yang patut diwaspadai.
Direktur Utama PT KAI Edi Sukmoro mengatakan, titik-titik rawan banjir, longsor, dan ambles di Jawa sebanyak 269 titik. Di Jawa, jalur kereta api di Semarang rawan banjir rob, di Ngawi rawan longsor, serta Ciganea-Purwakarta dan Garut-Ciamis rawan longsor dan ambles.
Adapun di Sumatera, titik rawan longsor dan ambles sebanyak 38 titik. Dua di antaranya adalah jalur Siantar-Dolok Merangir, Sumatera Utara, dan Tanjung Karang, Bandar Lampung-Kertapati, Palembang.
Penyebab Anjlok
Pengamat Transportasi Deddy Herlambang juga menyatakan hal senada. Menurutnya, titik-titik rawan longsor memang harus diwaspadai. Namun, perawatan dan pengawasan untuk mencegah anjlokan juga penting dilakukan.
Menurut Deddy, ada tiga faktor yang menyebabkan kereta anjlok. Pertama, karena kesalahan sumber daya manusia. Ada kemungkinan dari masinis yang melaju dengan kecepatan melewati batas yang ditentukan. Kemungkinan lain, kesalahan dari petugas pelayanan kereta yang tidak tepat membuka wesel (tempat memindahkan jurusan jalan kereta api).
“Faktor lainnya, dari sisi prasarana. Bisa saja wesel telah haus, sehingga wesel bertindak tidak sempurna atau sinyalnya rusak sehingga lampu tidak menyala. Faktor terakhir, permasalahan sarana. Ada kemungkinan roda dari kereta sudah aus sehingga menjadi anjlok,” kata Deddy. (SHARON PATRICIA)