Sabun Cuci dari Asam Sunti
Di tangan ibu-ibu, belimbing wuluh biasanya jadi sayur dan bumbu dapur. Namun, di tangan Zahrul Mirza (31) dan Nur Anindiya (28), belimbing bisa jadi sabun cuci piring. Setelah melewati 44 kali percobaan, lahirlah produk sabun cuci piring dengan merek "Mak Rah Pireng".
Di Aceh, belimbing wuluh yang disebut asam sunti sangat mudah dijumpai. Boleh dikatakan setiap warga, terutama di perdesaan, memiliki pohon belimbing karena sering dijadikan sayur dan bumbu dapur. Ternyata, asam yang terkandung di dalam belimbing ampuh menghilangkan lemak dan minyak pada piring.
Zahrul sering melihat orangtuanya menggunakan belimbing untuk membersihkan kamar mandi dan meja dapur. Pada pesta perkawinan buah belimbing sering juga dipakai untuk mencuci piring. Zahrul berpikir, seharusnya belimbing bisa diolah jadi sabun cuci piring, seperti halnya sabun yang beredar di pasaran yang berbahan baku jeruk nipis.
Untuk mengeksekusi ide itu, Zahrul mengajak Nur, yang dianggap punya kemampuan meneliti. Nur memiliki keahlian di bidang teknologi karena ia lulusan teknik industri salah satu universitas di Jerman. Saat mendengar paparan rencana bisnis itu, Nur langsung tertarik. Eksperimen pun dimulai.
Zahrul dan Nur menceritakan hal itu di sebuah toko tiga tingkat di Desa Lhong Raya, Kecamatan Bandar Raya, Banda Aceh, Jumat (10/8/2018). Toko itu difungsikan sebagai tempat produksi sekaligus kantor pemasaran.
Mereka lalu membeli beberapa kilogram belimbing kering sebagai bahan uji. Belimbing itu kemudian diperas. Untuk mendapatkan cairan yang kental dan bersih, cairan belimbing disaring beberapa kali.
Ekstrak belimbing dicampur dengan bahan baku sabun lain, seperti natrium klorida. Percobaan pertama gagal. Botol plastik tempat penyimpanan sabun kembung dan melepuh. “Kami tidak menyerah, justru kian tertantang,” ujar Nur.
Ternyata untuk mendapatkan ekstrak yang bagus, belimbing hijau harus dijemur dua hari hingga warnanya agak kecoklatan. Percobaan selanjutnya menghasilkan busa sedikit dan tidak lembut di tangan.
Buah penelitian
Dalam menjalankan proses penelitian, mereka mendapat dukungan dari Inkubator Bisnis Universitas Syiah Kuala. Mereka boleh menggunakan laboratorium tanpa harus membayar.
Percobaan itu terus dilakukan. Pada penelitian ke-44, setelah setahun meneliti, mereka akhirnya menemukan formula yang pas. Peluncuran produk dilakukan pada 17 Juli 2018. “Pengurusan izin edar butuh waktu enam bulan. Maklum, ini produk sabun cuci piring pertama di Aceh,” ujar Zahrul. Meskipun baru sebulan diluncurkan, penjualan sudah dilakukan sejak enam bulan sebelumnya.
Sabun cair Mak Rah Pireng berwarna kuning. Pada kemasan ditulis berbahan asam sunti lengkap dengan gambar buah belimbing. Desain kemasan menarik, tidak kalah dibanding dengan produk pabrikan.
“Kalau kualitas bisa adu dengan produk pabrikan yang sudah terkenal. Tantangan selanjutnya adalah mengubah pola pikir konsumen yang sudah terlanjur diracuni iklan,” kata Zahrul.
Kini Mak Rah Pireng dijual dalam tiga kemasan. Ukuran 450 mililiter harga Rp 11.000, ukuran 800 mililiter harga Rp 13.000 dan ukuran 5 liter dengan harga Rp 50.000. Dalam sebulan produksi mereka mencapai 19.000 liter. Penjualan masih di seputar Banda Aceh dan Aceh Besar.
Potensi pasar sabun cuci piring wilayah Aceh cukup menjanjikan. Zahrul memperkirakan produksi Mak Rah Pireng saat ini tidak sampai 5 persen dari kebutuhan di Aceh. “Jika kami sanggup merebut 10 persen saja itu sudah luar biasa,” kata Zahrul.
Sebagai produk lokal dan baru, Zahrul menyadari tidak mudah mengajak konsumen untuk beralih menggunakan produknya. Pasalnya, kata Zahrul, pengaruh iklan membuat konsumen lebih percaya pada produk yang duluan tenar. Namun, dengan mengusung semangat kedaerahan, dia yakin Mak Rah Pireng akan diterima oleh orang Aceh.
Nama lokal
Mak rah pireng artinya mama cuci piring. Kata Zahrul, dari namanya saja orang Aceh langsung tahu ini adalah produk lokal. Meskipun produk baru, beberapa hotel dan restoran di Banda Aceh telah meneken kontrak kerjasama untuk menggunakan Mak Rah Pireng. Beberapa swalayan juga mulai menjualnya.
Kini Zahrul dan Nur sedang menyusun rencana, membuat produk turunan dari ekstrak belimbing seperti cairan pembersih lantai dan pembersih kaca. Kata Mirza, jika usahanya berkembang pesat, tenaga kerja akan diserap lebih banyak. Saat ini dia baru sanggup mempekerjakan 11 karyawan. Di perusahaan tersebut, Zahrul menjadi komisaris dan Nur sebagai direktur.
Demi menjamin ketersediaan bahan baku, mereka telah membuat perjanjian kerja sama dengan kelompok perempuan di Desa Lubuk Gapui, Suka Makmur, Aceh Besar. Mereka membeli belimbing dari petani di desa itu dengan harga Rp 12.000 per kilogram.
“Selama ini belimbing dibuang-buang. Dengan ada Mak Rah Pireng ibu-ibu di desa akan memperoleh pendapatan tambahan,” kata Zahrul.
Seiring bertambahnya volume produksi, kebutuhan belimbing bertambah. Selama bahan baku masih tersedia dari warga, mereka tidak akan menanam sendiri. Alasannya sederhana, kehadiran Mak Rah Pireng harus memberi dampak positif bagi warga. Jika mereka membuka kebun belimbing, maka belimbing dari warga tidak tertampung.
Mereka kian termotivasi setelah terpilih sebagai salah satu penerima dana hibah modal usaha berbasis riset dari Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi tahun 2018. Mak Rah Pireng diberi dana hibah Rp 410 juta.
Dengan adanya tambahan modal, mereka akan meningkatkan jumlah produksi, membuat kemasan lebih variasi, melengkapi peralatan kerja, dan mengembangkan pemasaran. Zahrul dan Nur optimis, Mak Rah Pireng akan menjadi sabun cuci piring pilihan pertama orang Aceh.