Akhir tahun 2018, sebuah pesan berantai bergerak liar di beberapa grup WhatsApp. Pesan itu mau memberikan gambaran korelasi antara politik dan bencana. Pembuat pesan (entah siapa) mau menyampaikan “data” bahwa pada era Presiden Joko Widodo yang baru memerintah empat tahun banyak terjadi bencana. Untuk lebih meyakinkan, sebagai bahan rujukan data ditulis Tempo sebagai sumber.
Pembuat pesan menyampaikan data perbandingan bencana dengan kekuasan. Pada era Orde Baru pada saat Soeharto berkuasa 32 tahun, terjadi 96 kali bencana. Pada era KH Abdurrahman Wahid (1999-2001) terjadi tiga kali bencana. Pada era Megawati Soekarnoputri (2001-2004) terjadi 14 kali bencana. Pada era Susilo Bambamg Yudhoyono selama 10 tahun terjadi 76 kali bencana. Sedang pada era Presiden Joko Widodo yang baru memerintah empat tahun sudah terjadi 332 kali bencana.
Untuk lebih meyakinkan memahami konteks bencana dan politik, si pembuat pesan kemudian memberikan catatan, “Tidak ada kebetulan dalam kehidupan ini, semua tertulis dalam Kitab Lauhul Mahfuzh, Allah Maha Bijaksana dan Maha Tahu berapa kali bencana diturunkan pada masa kepemimpinan seseorang pasti ada penyebabnya. Wallahu’alam”. Untuk memperkuat konteks itu kemudian dikutip lagi pandangan seorang ulama besar.
Pesan itu disampaikan ketika sebagian dari warga bangsa sedang terkena musibah. Setelah gempa menimpa Nusa Tenggara Barat (NTB), kemudian menyusul Palu, dan tsunami di Selat Sunda, pesan itu didesain untuk menggoyang keyakinan politik orang. Kira-kira pembuat pesan (meski tak ditulis) mau menyampaikan pesan: di era Jokowi banyak terjadi bencana. Jangan pilih dia!
Dalam percakapan dengan seorang menteri 27 Desember 2018, sang menteri meminta stafnya agar Badan Nasional Penanggungangan Bencana Pusat segera mengklarifikasi data itu. "Segera minta Pak Topo mengklarifikasi data itu." Pak Topo adalah Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB. Kepiawaian dan kecepatan Sutopo menyampaikan data kebencanaan melalui berbagai media arus utama atau media sosial diakui dunia. Legitimasinya sangat kuat.
Setelah pesan berantai viral, Pemimpin Redaksi Tempo.co Wahyu Dhyatmika membantah Tempo pernah merilis data tersebut. "Redaksi Tempo tak pernah merilis data tersebut," kata Wahyu 25 Desember 2018 menanggapi pesan berantai di WhatsApp. (Tempo.co, Rabu 26 Desember 2018).
Pembuat pesan tak pernah diketahui. Namun motivasi pembuat pesan sangat jelas yaitu untuk kepentingan politik Pemilu Presiden 17 April 2019. Di era pasca kebenaran, dengan “data” dan “pesan” itu diyakini kebenarannya. Di era matinya akal sehat, kebenaran ditentukan oleh keyakinan dan kepercayaan. Demokrasi telah diracuni oleh kebohongan.
Kepala Pusat Data dan Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho membantah “data” di pesan berantai itu. “Tidak ada kaitan jumlah kejadian bencana dengan pemerintahan,” kata Sutopo, Jumat 28 Desember 2018. BNPB sendiri baru dibentuk tahun 2008 sehingga pencatatan data kebencanaan baru lebih efektif setelah tahun 2008.
Bencana pun beragam. Sepanjang 2018, bencana paling banyak merupakan bencana hidrometeorologi, berupa tanah longsor, puting beliung, kebakaran hutan, dan kekerirngan. Ada juga bencana geologi seperti gempa, tsunami, erupsi gunung berapi. Melacak kebenaran data kebencanaan sebenarnya tidak sulit. Dari website http://bnpb.cloud bisa dilacak bencana-bencana yang terjadi sejak tahun 1815, meskipun pencatatannya belum sempurna. Jumlah kejadian bencana tiap tahun, korban jiwa, kerusakan rumah dan fasilitas umum tercatat di website tersebut. Jadi, bukanlah hal sulit untuk mencek kebenaran data tersebut.
Dari data terbuka yang ada di website tersebut, bisa didapat data yang relatif bisa dirujuk validitasnya. Pada era Soeharto (1967-1998) tercatat 300 kali bencana, pada era Gus Dur (1999-2001) tercatat 233 kali, pada era Megawati (2001-2004) tercatat 1.456 kali, pada era Susilo Bambang Yudhoyono tercatat 14.702 kali, dan era Jokowi (2014-2018) tercatat 8.682 kali.
Tren kejadian bencana memang meningkat, namun itu semua tak ada kaitannya dengan politik. Tulisan Ahmad Arif di Kompas, 29 Desember 2018, memperingatkan kenaikan frekuensi gempa. Mengutip Roger Bilham dari Universitas Colorado dan Rebecca Bendik dari Universitas Montana dalam Geophisical Research Letters pada Agustus 2017, memprediksi kenaikan frekuensi gempa. Menurut kajian itu,terjadi siklus 32 tahunan. Tahun 2018 disebut awal siklus meningkatnya gempa. Prof Ron Haris juga mengingkat potensi gempa besar di Indonesia yang mendekati siklusnya. Menurut data sejarah gempa, Indonesia memiliki siklus gempa-gempa besar, lalu sepi dari gempa. (Kompas, 29 Desember 2018).
Bencana yang terjadi di Indonesia adalah sebuah fakta. Namun mengkaitkan bencana dengan sepenuhnya politik, tentunya akan mematikan akal sehat, akan mematikan rasionalitas. Bencana tidak perlu dikaitkan dengan politik. Yang justru harus dilakukan adalah bagaimana para kandidat Presiden, kepala daerah, legislator memahami daerah-daerah mereka sendiri. Indonesia yang berlokasi di cincin api adalah given yang tidak mungkin bisa ditolak, yang bisa dilakukan adalah bagaimana mitigasi bencana dilakukan.
Bagaimana menjadikan posisi Indonesia yang berlokasi di daerah cincin api menjadi arus utama penyusunan perencanaan pembangunan, menentukan tata kota wilayah, serta menentukan anggaran. Apakah Palu yang punya sejarah tsunami akan tetap layak dijadikan Ibu Kota? Ini membutuhkan keputusan politik. Apakah para kepala daerah sudah mengenali potensi kerentanan wilayahnya dan bagaimana memberikan penyadaran kepada warganya soal mitigasi bencana. Bagaimana Indonesia mempunyai pusat komando dan menggabungkan semua data yang ada dalam satu pusat komando kebencanaan.
Bencana selalu in between. Pernah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi lagi. Problemnya adalah bagaimana para pemimpin menempatkan “potensi bencana” sebagai arus utama pembangunan. Analisa mitigasi bencana haruslah ditempatkan sebagai kebijakan utama pembangunan, apakah pembangunan pemukiman, pembangunan bandara, pembangunan jalur rel kereta api.
Dalam kontestasi politik pemilu presiden itulah, saatnya capres Joko Widodo-Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menawarkan platform pembangunan dengan menempatkan kerentanan bencana sebagai acuan pelaksanaan pembangunan. Pembentukan Menteri Urusan Kebencanaan, penambahan anggaran untuk lembaga yang menangani kebencanaan, penanganan tata kota dan wilayah, muatan lokal kebencanaan di dunia Pendidikan perlu disampaikan dalam debat gagasan.
Debat gagasan itu lebih penting karena akan meningkatkan kualitas kampanye daripada sekadar memproduksi kebohongan. Membaca visi dan misi kedua capres yang disampaikan KPU, masih terasa begitu miskinnya gagasan soal pembangunan di wilayah bencana dari kedua capres. Saatnya demokrasi ditransformasikan menjadi ecocracy untuk pembangunan berkelanjutan. Kita menanti gagasan itu.