JAKARTA, KOMPAS Sejumlah kalangan menilai penurunan harga bahan bakar minyak lebih banyak dinikmati pemilik kendaraan pribadi. Namun, di sisi lain, hal itu tetap akan mendorong efisiensi pelaku usaha dan industri pengguna BBM nonsubsidi.
Pada Jumat tengah malam, PT Pertamina (Persero) menurunkan harga Pertamax, Pertalite, Pertamax Turbo, Dexlite, dan Dex. Penurunan harga itu menyesuaikan dengan penurunan harga minyak mentah dunia pada Desember 2018.
Berdasarkan penghitungan Tim Harga Minyak Indonesia, rata-rata harga minyak Indonesia (ICP) pada Desember 2018 sebesar 54,81 dollar AS per barel. Harga itu turun 8,17 dollar AS per barel dari November 2018.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Ilham Masita kepada Kompas, Sabtu (5/1/2019), mengatakan, penurunan harga BBM nonsubsidi kurang berpengaruh terhadap biaya logistik. Banyak angkutan logistik menggunakan solar subsidi. Untuk angkutan logistik yang menggunakan solar nonsubsidi, seperti kapal dan kereta api, akan diuntungkan oleh penurunan harga solar industri. Efisiensi perusahaan penyelenggara angkutan itu akan terjadi.
”Namun, hal tersebut tidak akan diikuti dengan penurunan biaya jasa atau tiket angkutan terkait,” kata Zaldy.
Direktur Pemasaran Retail PT Pertamina Mas’ud Khamid mengemukakan, penyesuaian harga BBM nonsubsidi berlaku sejak Sabtu. Harga baru yang berlaku di beberapa daerah bisa berbeda-beda karena dipengaruhi perbedaan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
”Pertamina terus mengevaluasi secara berkala harga BBM sesuai dinamika harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah di pasar global,” tutur Mas’ud.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyatakan, penurunan harga BBM nonsubsidi akibat pengaruh turunnya harga minyak mentah dunia adalah wajar. Penurunan harga BBM nonsubsidi hanya berdampak bagi pemilik kendaraan pribadi.
Hal terpenting justru memikirkan dan mempertimbangkan harga BBM bersubsidi untuk jangka panjang. ”Pada saat yang tepat, pemerintah perlu melepas subsidi secara bertahap guna membenahi kondisi fiskal dan perilaku konsumtif masyarakat,” katanya.
Menurut Hariyadi, pemerintah sudah terbiasa menyubsidi BBM yang pada akhirnya membentuk perilaku masyarakat konsumtif. Masyarakat menjadi terbiasa dengan BBM subsidi yang pada akhirnya membebani negara. ”Jika konsumsi BBM subsidi membesar, otomatis impor akan semakin besar. Maka, devisa negara akan menipis sehingga memengaruhi stabilitas rupiah,” tuturnya. (E05)