Memasuki tahun 2019, mata masyarakat semakin tidak nyaman dengan kehadiran poster, spanduk dan baliho para caleg dan pasangan capres yang bertebaran di mana-mana. Gambar-gambar dan foto diri, dilengkapi kata-kata mengemis dukungan calon pemilih menempel di berbagai tempat. Pohon, tiang listrik, dan berbagai ruang kosong mereka manfaatkan untuk menjual diri.
Wajah-wajah asing yang mungkin hanya dikenal oleh keluarga, tetangga atau teman-temannya tiba-tiba bertebaran di mana-mana. Obrolan ringan warung kopi menyebut mereka itu ibarat hantu atau penunggu pohon yang tiba-tiba muncul.
Dalam berbagai kalimat atau slogan yang nyaris seragam, gambar-gambar diri dengan berbagai gaya muncul mengganggu pemandangan. Para caleg yang bermodal besar memasang spanduk atau baliho besar. Selebihnya, menempelkan poster ala kadarnya. Memaku pohon-pohon pelindung jalan atau menempelkan di tiang-tiang atau dinding bangunan ditempuh untuk memasang poster. Gambar-gambar itu bersaing dengan poster-poster fotokopian iklan sedot WC, tawaran pembantu rumah tangga, atau reparasi AC yang telah lebih dulu dipasang para “canvasser”.
Masa kampanye memang berawal sejak 23 September 2018, tetapi para caleg menahan diri untuk memasang berbagai alat peraga kampanye. Selain diduga untuk menghemat biaya, mungkin mereka juga menginginkan calon pemilih akan lebih mengingatnya jika gambar mereka dipasang dekat-dekat hari pencoblosan. Tidak heran jika empat bulan menjelang masa pemungutan suara pada bulan April 2019, para caleg itu semakin masif menyebarkan gambar dirinya.
Kehadiran berbagai alat peraga kampanye terutama para caleg itu secara langsung menambah kesemrawutan kota. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki aturan untuk pemasangan alat peraga caleg maupun capres. Walaupun dibiayai para peserta pemilu, KPU antara lain mengatur ukuran dan bahan untuk menampilkan foto, nama peserta pemilu, lambang parpol, hingga nomor urut dan visi misi mereka. Berkembangnya teknologi percetakan membuat pembuatan baliho atau poster juga semakin mudah dan murah. Teknologi cetak digital, misalnya, membuat poster-poster, spanduk dan baliho bisa dibuat dalam waktu singkat.
Untuk menarik perhatian, para caleg biasanya memasang gambar atau kalimat yang aneh-aneh, mulai dari kata-kata serius, pantun hingga foto diri berbagai gaya. Pokoknya berbagai cara ditempuh. Namun pemasangan baliho-baliho raksasa di pinggiran Jakarta termasuk di sekitar perumahan, seringkali dengan konstruksi asal-asalan. Biasanya mereka menggunakan tiang bambu yang ditancapkan di tanah, atau menggunakan “sling” dari tali plastik yang rawan roboh.
Beberapa waktu lalu, Pemprov DKI Jakarta telah menyegel sejumlah baliho, termasuk billboard politisi karena dianggap melanggar izin kontruksi. Baliho atau billboard yang disegel tersebut dianggap melanggar Perda Nomor 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Reklame. Salah satu politisi yang terkena penyegelan baliho ini mengatakan, pemasangan billboard tersebut legal dan memasangnya melaui vendor pemasangan reklame.
Empat bulan ke depan, warga kota harus mulai membiasakan diri melihat pemandangan “sareukseuk” (menganggu mata) sudut-sudut kota. Untuk menghindari stres politik yang melanda masyarakat, kita bisa mengabaikannya. Atau, bisa juga melihat poster, spanduk, dan baliho para peserta Pemilu 2019 itu sebagai hiburan yang mengundang geli sendiri.