Hunian bagi Penyintas Disiapkan
PANDEGLANG, KOMPAS - Pemerintah menetapkan transisi darurat selama tiga bulan di Banten, sementara memperpanjang tanggap darurat di Lampung. Di sisi lain, penyintas berharap kehidupan layak.
Pemerintah menetapkan fase transisi darurat penanganan bencana tsunami Selat Sunda di Banten berlangsung tiga bulan setelah masa tanggap darurat berakhir pada Sabtu (5/1/2019). Selama transisi darurat, upaya difokuskan pada pembangunan hunian sementara (huntara) dan relokasi penyintas bencana.
Adapun di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, pemerintah memperpanjang masa tanggap darurat selama dua minggu, yaitu 6-19 Januari. Pemerintah tak akan membangun huntara, tetapi hunian tetap untuk relokasi pengungsi.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, huntara di Banten dibangun untuk menampung pengungsi yang rumahnya rusak berat dan ringan. Huntara diperlukan untuk mengurangi gejolak sosial dan mengantisipasi musim hujan agar pengungsi dapat lebih nyaman.
”Diperlukan waktu dua bulan untuk membangun huntara sebelum pembangunan hunian tetap yang waktunya lebih lama,” katanya.
Di Lampung Selatan, kata Sutopo, sudah tersedia lahan seluas 2 hektar untuk pembangunan hunian tetap. Balai Besar Wilayah Sungai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan membersihkan lahan, sedangkan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lampung Selatan akan menyiapkan perencanaan, desain, serta rencana anggaran.
”Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan akan mengajukan dana siap pakai BNPB untuk membangun hunian tetap beserta fasilitasnya,” kata Sutopo dalam keterangan pers, Sabtu.
Sementara itu, Bupati Pandeglang Irna Narulita menyatakan, huntara akan dibangun bagi 1.071 keluarga di Pandeglang karena tempat tinggal mereka rusak sedang dan berat akibat diterjang tsunami. Pembangunan huntara ditargetkan rampung dalam 2,5 bulan.
”Kami khawatir dalam 2,5 bulan belum selesai semua. Maka, fase transisi jadi tiga bulan. Saat ini sudah mulai pembersihan lahan di beberapa lokasi,” ujar Irna di Posko Terpadu Bencana Tsunami Selat Sunda, Kecamatan Labuan, Pandeglang, Banten.
Bencana tsunami akibat erupsi Gunung Anak Krakatau menerjang Provinsi Banten dan Provinsi Lampung 22 Desember 2018 malam. Tsunami Selat Sunda itu mengakibatkan 431 orang tewas, 7.200 orang luka-luka, serta 46.646 warga mengungsi.
Menurut Irna, pembangunan huntara akan dilakukan di delapan lokasi di delapan kecamatan terdampak tsunami, yakni Carita, Cigeulis, Cimanggu, Labuan, Pagelaran, Panimbang, Sukaresmi, dan Sumur. Adapun pembersihan lahan untuk huntara mulai berlangsung di Kecamatan Carita serta Sumur.
Irna mengungkapkan, lahan pembangunan huntara dipastikan berjarak 500 meter dari garis pantai demi keamanan warga. Jika terdapat lahan yang berada kurang dari 500 meter, harus berada di ketinggian. Ada sebagian lahan yang dimiliki Pemkab Pandeglang, ada juga lahan milik perseorangan yang dipinjam oleh pemerintah.
Sewa rumah
Bagi penyintas bencana yang sudah keluar dari posko pengungsian tetapi rumahnya hancur, Irna memastikan pemerintah menyediakan bantuan menyewa rumah selama tiga bulan sembari menunggu pembangunan huntara rampung. ”Bagi mereka yang tidak mampu, kami harus menyediakan tempat yang bukan tenda,” kata Irna.
Untuk membangun huntara, Irna meminta bantuan personel TNI. Satu huntara diproyeksikan berukuran 18 meter persegi dengan anggaran Rp 10 juta. ”Sekarang dibuat prototipenya, material, dan rencana anggaran biayanya,” ujarnya.
Pemerintah juga akan menyewa tempat-tempat yang layak untuk ditinggali penyintas bencana, seperti lapangan futsal di Desa Rancateureup, Labuan, yang selama ini digunakan sebagai posko pengungsian. ”Jadi, para pengungsi tak lagi tinggal di sekolah atau tenda,” ucap Irna.
Komandan Distrik Militer 0601/Pandeglang Letnan Kolonel (Inf) Nur Heru Wibawa mengakui, personel TNI akan menjadi tenaga utama dalam pembangunan huntara. ”Jumlah personel yang akan membangun huntara tergantung kebutuhan, tetapi mungkin 200-300 orang,” ujar Heru, yang juga Koordinator Penanggulangan Tsunami Selat Sunda di Pandeglang.
Harapan warga
Warga penyintas bencana di Kecamatan Labuan, Pandeglang, masih bingung untuk melanjutkan hidup setelah keluar dari posko pengungsian. Penyebabnya, tidak hanya rumah mereka yang hancur akibat tsunami, tetapi usaha mereka juga hancur.
Penyintas di posko pengungsian lapangan futsal, Desa Rancateureup, Kecamatan Labuan, Yati (45), bingung jika harus keluar dari posko itu.
”Saya belum tahu harus kerja apa setelah keluar dari posko pengungsian,” ucap perempuan yang dulu bekerja sebagai pedagang makanan dan minuman itu, kemarin.
Yati berharap tetap mendapatkan bantuan makanan dan sandang karena seluruh tabungan serta modal usahanya hanyut digulung tsunami. Ia akan mengikuti instruksi pemerintah jika harus direlokasi ke tempat yang aman. Namun, Yati berharap mendapat bantuan modal guna kembali membuka usaha.
Kepala Desa Waimuli Timur, Lampung Selatan, Zamra Ghozali berharap pemerintah segera merealisasikan hunian layak bagi warganya. Sebelum ini, pemerintah daerah berencana membangun hunian baru yang jauh dari pesisir, persisnya di Kalianda, ibu kota Lampung Selatan. Hal ini ditempuh dengan pertimbangan tsunami akibat erupsi Gunung Anak Krakatau masih bisa terjadi.
Namun, warga yang menjadi nelayan dan petani menolak karena lokasi itu terlalu jauh dari laut ataupun ladang tempat mereka bekerja. (ILO/PDS/BAY/BKY)