JAKARTA, KOMPAS— Pemilihan Umum 2019 yang dilaksanakan serentak antara pemilihan presiden dan pemilu legislatif berpotensi menambah jumlah perkara sengketa hasil pemilu yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Meskipun demikian, MK diyakini dapat menyelesaikan sengketa hasil Pemilu tersebut secara cepat.
“Dengan pemilu serentak, potensi munculnya pelanggaran dan kecurangan cukup tinggi. Apalagi, pengawasan semakin lemah karena perhatian publik dan pemangku kepentingan lainnya lebih pada pemilu presidennya,” kata Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi, dalam diskusi Catatan Awal Tahun dari KoDe Inisiatif tentang penanganan sengketa MK sepanjang tahun 2018, di Jakarta, Minggu (6/1/2019).
Berdasarkan catatan KoDe Inisiatif, jumlah perkara sengketa pemilu legislatif cenderung bertambah. Pada Pemilu tahun 2009 ada 627 permohonan sengketa caleg. Sedangkan, pada Pemilu 2014, meskipun MK tidak membuka datanya, tetapi pemberitaan media massa menyebutkan MK meregistrasi setidaknya 903 sengketa pemilu legislatif.
Optimistis
Pada tahun 2018, data KoDe Inisiatif mencatat, MK memutuskan 113 perkara. Rata-rata waktu yang dibutuhkan MK untuk memutuskan satu perkara 4,5 bulan. Waktu tersebut jauh lebih cepat dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Misalnya, penyelesaian sebuah perkara di tahun 2015 membutuhkan waktu 7,7 bulan, tahun 2016 setidaknya 10,5 bulan, lalu 7,8 bulan di tahun 2017.
Melihat rekam jejak waktu penyelesaian perkara tersebut, Veri optimistis MK bisa menyelesaikan permohonan perkara semakin cepat. Pengalaman tahun 2018 itu menunjukkan penataan manajemen yang baik.
“MK dipercaya akan menyelesaikan secara adil dengan waktu penyelesaian yang tidak berkepanjangan,” katanya.
Hal senada juga dikatakan Deputi Direktur Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar. Menurutnya, MK pada tahun 2018 juga patut mendapat apresiasi terkait kualitas putusan yang diambil dan terkait waktu putusan yang cepat.
“MK relatif baik kinerjanya karena seleksi hakim di awal yang menyeleksi hakim-hakim berkompeten,” kata Erwin.
Veri menambahkan, ada dua tantangan yang akan dihadapi MK terkait sengketa hasil pemilu. Pertama, bagaimana menyelesaikan perkara secara adil dan bias dipercaya oleh semua pihak. Selanjutnya, bagaimana menyelesaikan sengketa itu dalam waktu yang tidak berkepanjangan.
Sebelumnya, Juru bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, penyelesaian perkara oleh MK pada tahun 2019 bisa lebih baik lagi, atau lebih cepat, karena pada tahun 2019 tidak ada pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, waktu yang tersedia bagi mahkamah untuk menuntaskan perkara pengujian UU bisa lebih leluasa.
Bagi MK, percepatan penyelesaian perkara menjadi tantangan tersendiri setelah banyaknya kritik dari publik yang menyatakan MK kurang responsif, atau terkesan lamban dalam penanganan perkara. Penyelesaian perkara pilkada di sela-sela pemeriksaan PUU kerap dijadikan alasan lamanya penuntasan perkara uji materi. (Kompas.id, 27/12/2018)