Menantang Kesabaran
Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Dan perjuangan
Adalah pelaksanaan kata-kata.
("Paman Doblang", WS Rendra 1984)
Bait terakhir dari sajak ”Paman Doblang” karya WS Rendra ini diterjemahkan sekelompok perupa dengan menantang diri. Mereka beranjak dari kemapanan, meninggalkan zona nyaman, dan menumpahkan keberanian di atas rice paper. Media rupa ini sangat sulit ditaklukkan karena butuh kesabaran yang teruji.
Melukis kaligrafi secara tradisional di China adalah bagian dari penghayatan atas eksistensi diri sebagai manusia di tengah keagungan semesta. Oleh karena itu, eksekusinya selalu membutuhkan diri yang terasah secara batiniah dengan teknik perupaan yang meditatif. Secara kebetulan laku sehari-hari manusia Bali, terutama dalam hal beribadah, sangat dekat dengan praktik meditasi.
Laku keseharian itu menjadi modal penting bagi Made Kaek, Made Somadita, Made Wiradana, Polenk Rediasa, Nyoman Sujana Kenyem, Putu Edy Asmara, Sutjipto Adi, Wayan Redika, Loka Suara, Made Gunawan, Made Duatmika, Made Dollar Astawa, Ketut Jaya Kaprus, dan D Tjandra Kirana.
Mereka ditantang dua ”suhu” chinese painting yang didatangkan khusus oleh Konsul Jenderal Republik Rakyat China di Denpasar, Liu Fei dan Teng Shengsheng. Jadilah puluhan karya di atas rice paper bersanding di Sudikara Artspace, yang berlokasi di Sudamala Suites & Villas, Sanur, Denpasar.
Koordinator Kertas Padi Made Kaek mengatakan, pameran bertajuk ”Patience is Earth” ini merupakan upaya mereka untuk keluar dari kemapanan. Selama ini, sebagian besar perupa sudah merasa ”hidup nyaman” dengan medium kerja yang terpabrikasi.
”Mau melukis sudah ada kanvas dan cat, tinggal mengejar tema, begitu ibaratnya,” kata Kaek, Jumat (28/12/2018), di Denpasar. Ketika D Tjandra Kirana, yang baru pulang dari China, menantang mereka untuk menjajal rice paper,anggota kelompok ini menyambutnya dengan antusias.
”Ini benar-benar tantangan baru. Saya berulang kali gagal menaklukkan rice paper,kertas tradisional dari China. Akan tetapi, ya itu, kesabaran itu seperti bumi. Kita harus belajar,” kata perupa Made Somadita.
Rice paper, kata Soma, memiliki tekstur yang longgar sehingga mudah menyerap tinta atau cat. Selain itu, kertas ini sangat mudah sobek karena tingkat kebasahan yang berlebihan. ”Juga, kita mesti berlatih ulang memilih kuas dan mengukur daya tekan tangan di atas permukaan kertas,” katanya.
Perupa lainnya, Ketut Jaya Kaprus, mengatakan, rice paper membutuhkan pengaturan energi diri yang subtil. ”Tidak bisa asal jebret terus jadi. Energi harus benar-benar diatur supaya tidak merusak medium,” katanya.
Meditasi
Made Kaek tidak menduga ide melukis dengan menggunakan rice paper disambut antusias oleh Konsul Jenderal Republik Rakyat China di Denpasar Gou Haodong. Gou kemudian memboyong dua pelukis chinese painting langsung dari Beijing. Karya mereka kemudian disandingkan dalam pameran yang akan berlangsung sampai 6 Februari 2019 ini.
”Kami belajar banyak dari mereka bagaimana pentingnya menaklukkan media dalam menumpahkan ekspresi seni rupa,” kata Kaek.
Ia melihat sudah waktunya para perupa Bali melakukan eksplorasi media ekspresi sehingga terjadi persilangan kultural. Salah satu misi dari persilangan kultural ini, tambahnya, menumbuhkan rasa saling memahami di antara bangsa-bangsa di dunia.
”Pertukaran seperti ini membuat kita saling paham, tidak ada saling curiga,” katanya.
Secara tradisional, rice paper selalu disapu dengan chinese ink dan watercolor. Sejak China pada masa klasik, medium ini seolah tidak bisa dipisahkan. Goresan-goresan tinta dan watercolor di atas rice paper terkadang menimbulkan efek yang dramatis dan natural.
Beberapa karya para perupa Kertas Padi, seperti Made Kaek, Sujana Kenyem, Somadita, Duatmika, Wiradana, Sutjipto Adi, dan Wayan Redika, menunjukkan kemampuan mereka mengolah material dengan menggunakan teknik tinggi.
Perupa senior seperti Sutjipto Adi lewat karya ”Calligraphy Abstraction #01” menunjukkan kualitas pemahaman medium yang membanggakan. Karya abstrak selama ini bukan menjadi prioritas bagi Sutjipto Adi. akan tetapi, rupanya rice paper, tinta china, dan watercolor, membuatnya bereksperimen, dengan hasil yang cukup memuaskan.
Perupa Wayan Redika merasa cukup menggunakan watercolor untuk menaklukkan rice paper. Ia bahkan secara tematik merasa perlu menggabungkan Bali dan China secara kultural dalam lukisan berjudul ”Babi Tanah Air Beta”. Pada bagian bawah ia menggambar seekor babi hitam dengan peta Indonesia di bagian tubuhnya, lalu di bagian atas Redika menggunakan teknik menggambar klasik Kamasan untuk melukiskan dunia dongeng.
Ia menggambar wayang Bali dengan seorang kaisar dari China. Perpaduan ini menemukan keindahannya karena memadukan dua unsur klasik: Bali dan China. ”Ini upayaku menaklukkan dua kebudayaan untuk kemudian luluh dalam satu kanvas,” kata Redika.
Pada akhirnya ”Patience is Earth” menjadi pertunjukan dramatis tentang upaya para perupa yang melatih diri mengolah kesabaran, untuk kemudian menumbuhkan kesadaran baru, bahwa menantang diri terus-menerus menjadi bagian integral dari seorang seniman.
Pergulatan para seniman tidak berhenti pada hal-hal tematik, tetapi lebih-lebih adalah pematangan teknik dengan menggunakan beragam medium. Dan semuanya tidak sekadar berlandaskan teori-teori di atas buku, lebih penting dari itu adalah praktik kerja konkret di atas permukaan kertas. Sebagaimana juga dikatakan Rendra:...dan perjuangan/adalah pelaksanaan kata-kata.