Namanya juga anak-anak. Sinar matahari yang terik menyengat sekalipun tak menghalangi mereka meluapkan energi besar melalui permainan atau dolanan anak. Teriakan, lompatan, tarikan, pantun, hingga nyanyian puluhan anak mewarnai sudut tanah kosong milik orang kota di Kampung Sawah Baru, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (5/1/2019).
Kangen bermain enggrang? Ada. Rindu bermain ular tangga? Bisa. Ikut berlarian gembira sambil menyusun strategi lolos dari kepungan lawan galasin atau gobak sodor? Dipersilakan. Atau sekadar ingin mendengar hompimpah gambreng tanda mulai permainan? Bisa sekali.
”Tetapi idenya bukan kita mau bernostalgia dengan permainan anak. Tetapi kita ingin mengingatkan kembali warga bahwa aneka permainan yang dilakukan di tanah lapang atau jalanan kampung itu adalah cara warga berinteraksi dan bersilaturahmi. Memahami kembali sebagai komunitas dan masyarakat,” kata Rico Adzwar Ahdzan dari komunitas Bank Sampah Jawara, Sawah Baru, Ciputat, Tangerang Selatan.
Jakarta yang menggelisahkan
Di sela-sela rehat seusai membawakan acara permainan anak, Rico mengungkapkan kegelisahan sebagai warga yang tinggal di pinggiran kota besar bernama Jakarta. Ibu Kota negara yang menjadi magnet bagi warga republik ini untuk mengadu nasib sudah mengubah wajah Jakarta bahkan kota-kota penyangga di sekitarnya.
”Kampung saya ini sekarang sudah padat dengan pendatang. Di tengah kampung ada kluster. Kampung saya dikepung tembok kompleks,” katanya.
Aliran kali di belakang rumah, kata Rico, sedang diubah oleh sebuah pengembang menjadi danau. Sawah yang pernah terhampar luas di kanan kiri kampungnya sudah menjadi kompleks perumahan yang dipadati warga pendatang.
”Jadinya sekarang lahan makin sempit buat bermain-main. Anak-anak kalau bermain ya di jalanan kampung. Lalu banyak orang sekarang jadi pribadi individualis,” kata Rico.
Kalau dalam pemahaman kakek nenek, guyub atau rukunnya warga kampung itu makin menipis. Orang dewasa sibuk mengejar karier atau memenuhi tuntutan pekerjaan. Anak-anak yang kekurangan lahan bermain dijejali telepon genggam dan bermain aneka permainan melalui gawai. Masyarakat, bahkan dalam satu RT saja, bisa saling tidak kenal.
Itu sebabnya Rico yang sehari-hari sibuk menggawangi Bank Sampah Jawara bentukan Dinas Lingkungan Daerah Kota Tangerang Selatan ini bekerja sama dengan Unconditional Design dan didukung laboratorium masyarakat LabTanya dan Kelompok Kurator Kampung. Mereka menggali lagi aneka permainan anak yang pernah menjadi pemersatu warga, menjadi sarana silaturahmi.
Program Kota dan Seni: Menjadi (Komunitas) Warga dengan mengajak lima komunitas warga di Kota Tangerang Selatan, 4-12 Januari 2019, menjadi media untuk mengungkapkan dan merespons kegelisahan itu.
”Proses pencarian kembali aneka permainan anak itu tiga minggu lamanya. Kami tanya-tanya lagi ke orangtua juga sesepuh kampung,” kata Rifandi S Nugroho, ko-kurator program.
Alhasil, ada 20 jenis permainan anak yang berhasil digali lagi lalu ditampilkan. Bank Sampah Jawara cukup beruntung karena boleh memanfaatkan lahan kosong di sudut kampung milik ”orang kota” sebagai lokasi untuk memainkan lagi permainan anak itu. Empat puluh anak yang datang siang itu boleh ikut bermain asal membawa sampah botol plastik atau gelas minuman kemasan yang sudah kosong.
”Ini juga cara kami untuk mengenalkan ke masyarakat sejak dini tentang bank sampah. Biar mereka juga sejak dini sudah belajar memilah sampah,” kata Rico.
Bagi anak-anak Sawah Baru, membawa sampah untuk ikut bermain bukan masalah. ”Saya sudah main banyak. Tadi bawa botol plastik. Saya main ular tangga, enggrang batok kelapa, sama galasin. Enggrangnya susah mainnya,” celoteh Tiara Naylasari (7).
Perlu dilembagakan
Nur Hasanah (41), warga RT 004 RW 002 Sawah Baru, Ciputat, juga mengatakan, ia seperti melihat saat ia kecil dulu. Anak-anak kecil suka berkumpul dan bermain di tanah lapang atau di jalanan. Lalu orangtua berkumpul dan mengobrol.
”Sekarang lahannya sudah terbatas. Tetapi anak-anak masih suka kumpul dan main di jalanan. Mobil lewat jalan kampung saja kalah,” kata ibu guru PAUD ini.
Sebagai ibu, ia lebih suka melihat anaknya berlarian bermain bersama teman-temannya daripada duduk di rumah bermain permainan (games) di telepon genggam.
Ignasius Susiadi Wibowo dari LabTanya mengatakan, agenda ini juga menjadi pengingat bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Pembangunan daerah tidak melulu soal fisik, tetapi juga manusia.
Bagi Pemkot Tangerang Selatan yang belum memiliki rencana detail tata ruang (RDTR), ada baiknya mengingat dan memasukkan program membangun dan merawat komunitas masyarakat dalam kebijakan-kebijakan daerah.
”Selama ini yang namanya musrenbang itu pun tidak menyentuh masyarakat. Masih dari atas ke bawah. Segelintir warga saja yang bisa mengakses dan tahu pembangunan di daerahnya akan bagaimana,” kata Susiadi.
Rico juga mengatakan, kalau melalui kumpul-kumpul memainkan permainan anak berharap bisa lebih banyak mengenalkan pengelolaan sampah lewat bank sampah kepada warga di kampungnya dan tidak asal membakar atau membuangnya.