JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah tantangan berat akan dihadapi oleh pemimpin yang akan terpilih pada kontestasi politik April mendatang. Salah satu yang terutama, siapa pun yang terpilih, diharapkan mampu mempererat persatuan seperti yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa.
Ini menjadi intisari dari Seminar Pembukaan Tahun Berhikmat bertajuk ”Kepemimpinan Transformatif untuk Melayani Negeri” di Jakarta, Sabtu (5/1/2019). Hadir sebagai pembicara, rohaniwan Romo Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali, serta Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo Pr.
Rohaniwan Romo Magnis Suseno mengatakan, siapa pun pemimpin Indonesia yang terpilih kelak harus menyadari tantangan terbesar bangsa saat ini. Salah satunya mempererat kembali persatuan. Pemimpin diharapkan memiliki simpati kepada semua kelompok, bukan hanya kepada golongan tertentu.
”Jika ada kelompok yang meminta diperhatikan, jangan diabaikan. Populisme harus ditanggapi dengan keadilan,” kata Magnis.
Oleh karena itu, Magnis mengajak masyarakat Indonesia menuntut presiden/wakil presiden terpilih untuk menjunjung tinggi Pancasila. Bukan hanya sekadar perkataan, melainkan Pancasila harus ada di dalam hatinya.
Lebih lanjut dia mengatakan, Indonesia sesungguhnya memiliki keunggulan dibandingkan negara-negara lainnya. Penduduk di Indonesia, misalnya, telah diikat oleh semangat kebangsaan. ”Di Indonesia, banyaknya etnis, budaya, agama, dan bahasa telah mampu diikat oleh suatu yang disebut dengan kebangsaan,” ujar Magnis.
Magnis juga mengingatkan tentang gejolak di Perancis beberapa waktu lalu. Pemerintahan yang dipimpin Presiden Emmanuel Macron mendapat pertentangan dari kaum Yellow Jacket karena pembangunan di Perancis dianggap hanya ditujukan bagi golongan tertentu.
”Jangan sampai, rakyat Indonesia memiliki anggapan yang sama. Mereka bisa marah,” tegas Magnis.
Selain itu, dia berharap, pemimpin terpilih di Pemilu 2019 benar-benar bersikap demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sebab, hak asasi manusia bukan sekadar slogan, melainkan sebagai segi kemanusiaan yang perlu dihargai.
”Siapa pun yang melanggar hak asasi manusia berarti telah merendahkan martabat manusia,” ujar Magnis.
Hal lain, Magnis mengingatkan pemimpin kelak untuk memberantas korupsi. Sebab, selain merugikan, korupsi menurunkan kualitas kemanusiaan Indonesia.
Menjaga relevansi
Sementara Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali melihat bangsa saat ini tengah dihadapkan pada transformasi di banyak aspek. Oleh karena itu, pemimpin terpilih harus mampu menjaga relevansi kehidupan. ”Bagaimana membuat apa yang kita lakukan bisa relevan dengan zaman sekarang,” ungkap Rhenald.
Menurut Rhenald, seorang pemimpin harus bisa mengecek kebenaran, mampu membaca yang tidak tampak, berpikir strategis, dan mampu bekerja sama. Selain itu, penting bagi pemimpin untuk memiliki sifat wirausaha. Dengan demikian, pemimpin mampu berpikir kreatif dan menerjemahkan ide-ide.
”Jangan sampai saat pemimpin bicara dapat membuat orang menjadi bingung,” kata Rhenald.
Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo pun mengingatkan agar pemimpin seharusnya bisa memberikan pengaruh besar lewat kepemimpinannya. Dia mencontohkan Paus Fransiskus. Salah satu yang dinilainya membuat kepemimpinan Paus amat berpengaruh adalah karena pengalaman rohaninya.
”Kepemimpinan gereja Paus Fransiskus patut dicontoh karena bisa memberi pengaruh terhadap dunia,” ungkap Suharyo. (FAJAR RAMADHAN)