Wajah Keluarga Hari Ini
Harta yang paling berharga adalah keluarga, istana yang paling indah adalah keluarga. Puisi yang paling bermakna adalah keluarga, mutiara tiada tara adalah keluarga....
Lirik lagu ”Harta Berharga” di atas menjadi penyambung ingatan antara film Keluarga Cemara yang beredar pada pekan ini di bioskop Tanah Air dan serial televisi Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto yang populer pada tahun 1990-an dan kini tayang ulang di TVRI.
Versi buku tentang cerita keluarga ini bahkan telah ditulis sejak 1970-an oleh Arswendo. Meski begitu, kisahnya terbukti masih relevan hingga era digital saat ini. Karena relevansi dengan konteks hari ini itulah, meski berjarak lebih dari dua dekade dengan serial televisinya, versi layar lebar Keluarga Cemara tetap berpotensi menguras air mata penonton.
Bukan karena kesedihan, melainkan air mata haru karena kekaguman tentang betapa sebuah keluarga mampu tetap bersatu dan tegar menghadapi badai hidup.
Ketika ditanya kenapa baru sekarang Keluarga Cemara akhirnya difilmkan, Arswendo menjawab, ”Cocoknya baru sekarang. Pada ide dan gagasan. Frame-nya untuk keluarga pada umumnya. Nilai umum dan universal, bahwa terharu bisa berarti air mata bisa berarti senyuman.”
Bagi banyak penonton, tayangan serial televisi Keluarga Cemara memang membekas di ingatan walau dikemas sederhana. Tak heran, jika banyak penonton di bioskop pun ikut berdendang ketika lagu ”Harta Berharga” diputar. Pernah menjadi tayangan yang selalu dinanti di akhir pekan, kalimat demi kalimat dalam lagu tersebut memang seolah sudah terpatri di ingatan.
”(Ketika) 20 tahun lalu saya menjajakan ide itu, enggak semua orang mau. Kok enggak ada hantunya? Enggak ada santetnya? Saya bilang Indonesia enggak butuh santet banyak. Saya yang melahirkan Keluarga Cemara ini. Sekarang sudah gede, kalian (pembuat film) mau meminang mau bikin apa, itu tanggung jawab di kalian,” ujar Arswendo, Sabtu (5/1/2019), tentang pembuatan film itu.
Nilai kejujuran
Sama seperti pada serial televisinya, badai dalam kehidupan keluarga itu masih hadir berupa terpaan kesulitan ekonomi. Keluarga kecil Abah dan Emak harus rela melepas kehidupan mapan di Ibu Kota. Kebangkrutan membawa mereka kembali ke rumah masa kecil Abah di pelosok perdesaan.
Kisah adaptasi dari keluarga ”berada” yang kemudian harus merangkak dari nol—dengan tetap mengedepankan nilai kejujuran—menjadikan film ini sarat muatan moral.
”Nilai kejujuran itu berlaku di mana saja. Kepercayaan pada itu ada di mana-mana. Bagaimana mengucap syukur dan mengungkap dalam bentuk perasaan dan tindakan. Apa pun yang terjadi, mereka bisa bersyukur. Keluarga itu kekuatan,” kata Arswendo.
Sosok Abah yang dulu akrab diperankan aktor kawakan yang juga pemain teater Adi Kurdi, kini dimainkan dengan baik oleh Ringgo Agus Rahman. Abah yang dulu lekat bertopi anyaman bambu dengan kalung handuk putih, tak lagi memerankan profesi tukang becak. Mengadaptasi perubahan zaman—kini becak sudah bukan kendaraan favorit perdesaan—Si Abah memilih menjalani profesi sebagai tukang ojek motor daring.
Pohon cemara
Film Keluarga Cemara inidiproduksi Visinema Pictures bekerja sama dengan Ideosource dan Kaskus, dengan sutradara Yandy Laurens, serta diproduseri Anggia Kharisma dan Gina S Noer. Pada film ini, wajah modernitas ditonjolkan sejak pembukaan film. Semula, latar keseharian kehidupan keluarga Abah dan Emak (Nirina Zubir) adalah lingkungan urban di kompleks kluster perumahan.
Setelah rumah dan seluruh harta disita sebagai jaminan utang, Abah dan Emak memutuskan pindah ke rumah Aki di perdesaan Bogor. Berlatar belakang alam pegunungan dengan banyak pohon cemara, rumah tua Aki yang sudah lama ditelantarkan tanpa penghuni akhirnya menjadi hunian baru bagi keluarga Abah. Di rumah inilah keutuhan mereka sebagai keluarga benar-benar diuji.
Keterisolasian rumah Keluarga Cemara ini digambarkan antara lain dengan kondisi sulitnya mencari sinyal telepon seluler. Euis yang beranjak remaja dan merindukan teman-temannya di kota harus memanjat pohon cemara untuk mencari sinyal. Di dahan pohon cemara pula, Abah menggantungkan ayunan kayu yang menjadi salah satu titik kumpul favorit keluarga.
Bagi yang rindu becak yang lekat dengan kisah Keluarga Cemara di serial televisi, alat transportasi roda tiga ini dihadirkan sebagai barang tua di gudang rumah Aki. Karena berprofesi sebagai tukang ojek motor daring, penonton pun harus rela disuguhi banyaknya ojek daring mondar-mandir di film ini. Saking seringnya kemunculan ojek daring, cerita sempat sesaat terkaburkan seolah sedang menonton iklan ojek daring.
Di luar itu, film Keluarga Cemara mengajak penontonnya untuk memikirkan ulang tentang makna keluarga. Pergulatan keseharian dalam adaptasi pencarian sumber penghasilan baru, adaptasi anak di sekolah baru, hingga kebutuhan menemukan sahabat-sahabat baru ada di sini.
Sutradara Yandy Laurens yang turut menulis naskah film Keluarga Cemara berharap film ini bisa menghadirkan waktu berkualitas bagi penonton keluarga. Menurut dia, menonton bersama-sama dan membahas cerita ini kembali bisa menjadi media untuk mengungkapkan perasaan anggota keluarga.
Banyak orang mengatakan bahwa tidak ada sekolah untuk menjadi orangtua. Namun, film ini bisa menjadi alternatif untuk kembali belajar bagaimana menjadi sebuah keluarga yang utuh.
Dalam Keluarga Cemara, kehangatan keluarga terbukti tak sekadar soal kelimpahan materi, tetapi cinta, kejujuran, dan kepedulian yang tanpa henti dibagikan.