JAKARTA, KOMPAS—Dinas pendidikan di kabupaten/kota dan provinsi menunggu adanya payung hukum aturan dari pemerintah pusat, terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengharuskan diadakannya pendidikan mitigasi bencana di sekolah-sekolah. Sejauh ini, inisiatif mitigasi bencana masih dari sekolah secara individual maupun gerakan masyarakat sipil.
"Pendidikan mitigasi bencana belum terstandar. Masih bergantung pada sepandai-pandainya guru mengintegrasikan pengetahuan tersebut dengan mata pelajaran," kata Kepala Sekolah SDN II Karangmojo, Gunung Kidul, Yogyakarta, Kuruna SP Niawati ketika dihubungi dari Jakarta pada hari Minggu (6/1/2019).
Kabupaten Gunung Kidul merupakan wilayah yang terdampak cukup parah oleh gempa bumi pada tahun 2006. Kuruna mengungkapkan, hingga tahun 2007 terdapat lembaga-lembaga swadaya masyarakat, terutama dengan afiliasi internasional, melakukan pelatihan evakuasi bencana di sekolah-sekolah.
Setelah program pelatihan selesai, LSM-LSM itu meninggalkan Gunung Kidul dan pelatihan maupun simulasi tidak pernah lagi diadakan. "Sekarang bergantung pada inisiatif tiap-tiap guru untuk mengimbaskan ilmu yang mereka dapat 12 tahun lalu kepada rekan sesama guru dan mempraktikkannya di kelas. Ada guru yang mahir menerapkannya, ada juga yang setengah-setengah," tuturnya.
Kuruna menambahkan, ia dan guru-guru lain berminat mengikuti pelatihan mitigasi bencana. Namun, jika mengikuti pelatihan mandiri, para guru kesulitan mencari waktu luang karena jam kerja mereka padat. Jika sudah ada aturan dari pemerintah pusat maupun daerah mengenai mitigasi bencana, pengetahuan dan pelatihan yang diperoleh guru lebih terstandar.
Aturan ketat
Sementara Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Karangasem, Bali, Ngurah Kartika menuturkan, wilayahnya belum melakukan pendidikan mitigasi bencana. Sejak November 2017 mereka baru melakukan sosialisasi cara evakuasi apabila terjadi letusan gunung berapi. Pada tahun 2017 Karangasem merupakan wilayah yang terdampak erupsi Gunung Agung.
"Aturan mengenai kurikulum sangat ketat. Kami takut jika asal menyisipkan materi mitigasi bencana malah akan mengganggu pola pembelajaran dan kinerja guru," ujarnya.
Aturan mengenai kurikulum sangat ketat. Kami takut jika asal menyisipkan materi mitigasi bencana malah akan mengganggu pola pembelajaran dan kinerja guru.
Untuk itu, perlu ada aturan petunjuk teknis dari Kemdikbud mengenai tata cara penyampaian materi mitigasi bencana. Ngurah Kartika mengatakan, sejauh ini, sekolah-sekolah baru melakukan pelatihan evakuasi bencana 1-2 kali per sekolah. Meski dinas belum memiliki aturan, mereka mengizinkan inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat.
Bersikap pasif
Saat dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami (Kogami) Padang, Sumatera Barat, Tommy Susanto, mengeluhkan kepasifan dinas pendidikan dan sekolah-sekolah negeri mengadaptasi pendidikan mitigasi bencana. Padahal, pendidikan mitigasi bencana sejatinya bersifat fleksibel dan bisa diadaptasi ke dalam mata pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, bahkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah.
"Sikap hanya menunggu perintah dari atas baru mau bergerak ini yang menyulitkan mitigasi bencana," kata Tommy. Kogami sudah berdiri sejak tahun 2005 berdasarkan liputan di majalah National Geographic Indonesia yang menjelaskan bahwa Padang merupakan kota paling rawan tsunami di Indonesia.
Tommy mengungkapkan, bahkan setelah dilanda gempa bumi pada tahun 2009, tidak ada kebijakan mitigasi bencana di sektor pendidikan yang lahir. Wali Kota Padang melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Padang yang bekerja sama dengan Kogami meluncurkan program "Sekolah Cerdas Bencana", itu pun hanya berlangsung di 47 sekolah.
Selama ini sekolah-sekolah swasta dinilai jauh lebih responsif dibandingkan sekolah negeri. Beberapa sekolah sejak tahun 2007 menggandeng Kogami untuk menyusun materi pendidikan mitigasi bencana. Bentuknya beraneka ragam, tergantung kemampuan tiap-tiap sekolah. Ada yang mengajarkan sebagai perilaku keseharian di sekolah, ada yang melalui mata pelajaran, ekstrakurikuler Pramuka, bahkan ada sekolah yang memasukkan muatan lokal mitigasi bencana ke dalam rapor siswa.
"Pemerintah pusat mengharapkan agar pemda menyusun sendiri materi mitigasi bencana agar sesuai dengan spesifikasi risiko bencana masing-masing, tetapi mengharapkan inisiatif ini tidak akan menyegerakan mitigasi yang bersifat mendesak. Aturan dari Kemendikbud adalah keniscayaan di tengah situasi seperti ini," ucapnya.