Belanja Pemerintah Daerah Sinyal Kesejahteraan Rakyat
Oleh
Hamzirwan Hamid
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Para kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah didorong terus mengoptimalkan membelanjakan anggaran untuk menjalankan program-program kesejahteraan rakyat. Semakin banyak pemerintah daerah belanja menunjukkan tingkat realisasi program pembangunan untuk masyarakat.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri tahun 2018 tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), rata-rata total belanja provinsi dan kabupaten/kota lebih tinggi dibandingkan total pendapatan. Selama lima tahun terakhir, ada tren peningkatan total pendapatan diikuti dengan total belanja.
“Jika yang dimaksud APBD defisit adalah pembelanjaannya lebih besar daripada pendapatan, maka semua daerah defisit. Perlu saya luruskan bahwa arti defisit dalam konteks APBD berbeda karena masih bisa ditutup dari kelebihan penerimaan pembiayaan, “ kata Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Syarifuddin di Jakarta, Senin(7/1/2019).
APBD harus digunakan semaksimal mungkin oleh setiap daerah. Menurut Syarifuddin, defisit APBD yang dialami oleh semua daerah merupakan hal yang wajar. Bahkan menjadi tanda tanya jika daerah mampu menyeimbangkan neraca pendapatan dan pembelanjaan.
“Semakin banyak uang anggaran yang tersisa malah menunjukkan bahwa suatu daerah tidak maksimal dalam menggunakan dana. Padahal dana itu digunakan untuk menjalankan program bagi kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Kekurangan defisit dapat diakali dengan menggunakan sisa lebih pembiayaan anggaran tahun sebelumnya (SILPA). Adapun SILPA didapat melalui hasil pelelangan barang dan kelebihan target pendapatan tertentu.
Kinerja keuangan setiap daerah dinilai berdasarkan tiga aspek. Yang pertama, tingkat realisasi anggaran. Realisasi rendah menunjukkan kinerja keuangan yang rendah, begitupun sebaliknya. Selanjutnya, aspek produksi (output) yaitu pengeluaran yang tidak 100 persen dimanfaatkan diartikan bahwa uang itu tidak dibelanjakan sepenuhnya sehingga kinerja rendah. Aspek yang ketiga adalah dampak (outcome) yaitu dampak terhadap program tidak serta-merta dirasakan tapi dievaluasi jangka panjang. Misalnya, pembangunan sekolah dapat diukur keberhasilan terhadap indeks kemajuan pendidikan beberapa tahun setelahnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengatakan, masalah dari manajemen tata kelola yang belum juga tuntas diatasi yaitu, proporsional alokasi APBD lebih banyak digunakan untuk belanja birokrasi daripada untuk kepentingan publik, kualitas pelaporan hingga hari ini baru 60 persen dari dan daya serap anggaran yang belum maksimal.
“Tidak lebih dari 20 persen APBD masih untuk belanja modal (investasi) dan publik, artinya APBD untuk masyarakat itu hanya 20 persen. Selebihnya digunakan untuk belanja aparatur, barang, dan jasa,” kata Robert.
Hal yang lebih krusial dari tata kelola, menurut Robert, adalah uang yang sudah banyak di daerah tapi dampak terhadap kesejahteraan dan peningkatan layanan publik belum menyeluruh. “Isu sekarang bukan semakin banyak membawa uang dari pusat, tapi bagaimana membuat uang di daerah dapat dikelola secara akuntabel dan efektif untuk mencapai target besar dalam peningkatan kesejahteraan,” kata Robert.
Perhatian lebih
Delapan provinsi yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah adalah, Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Kedelapan daerah itu dinilai butuh dukungan besar karena pulau-pulau kecil di daerahnya perlu jangkauan luas.
Robert menambahkan, APBD bukan sumber tunggal untuk menggerakkan perekonomian daerah. Oleh sebab itu, pemerintah daerah perlu berpikir kreatif dan inovatif dengan melakukan kerja sama atau kemitraan dengan pihak swasta. (MELATI MEWANGI)