JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan bekerja sama membangun sistem untuk memantau data dan informasi devisa kegiatan ekspor impor. Sistem yang diberi nama Sistem informasi Monitoring Devisa Terintegrasi Seketika atau SiMoDIS memungkinkan Bank Indonesia memantau data devisa secara aktual.
Kerja sama itu ditandai dengan penandatanganan kesepakatan antara Gubernur BI Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Senin (7/1/2018).
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan BI Farida Peranginangin dalam konferensi pers mengatakan, sistem itu akan membantu BI menerima catatan arus data, komoditas, dan uang setiap hari.
”Sekarang (sistem) sudah dikerjakan. Dengan koordinasi yang semakin baik, uji coba tahap satu selesai akhir tahun ini,” katanya.
SiMoDIS akan mengintegrasikan data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal Pajak (DJP), financial transaction messaging system, dan bank devisa. SiMoDIS akan melaporkan data secara aktual serta meningkatkan perolehan data hasil ekspor (DHE) dan perpajakan. Eksportir, importir, dan bank devisa dapat memasukkan data di dalam sistem tersebut untuk menjelaskan selisih devisa kegiatan ekspor-impor, cicilan utang luar negeri, dan belanja impor.
Farida melanjutkan, data dan informasi yang aktual dan tepat membantu BI dan pemerintah berkolaborasi menjaga nilai tukar rupiah serta menekan defisit transaksi berjalan.
Menurut Farida, tantangan yang dihadapi selama ini adalah eksportir kerap salah atau lalai melaporkan kepada bank. Tidak jarang, bank devisa melakukan hal serupa.
”Kalau nilai tidak tepat, kami kirim surat pemberitahuan dan bisa kena denda. Kalau tidak masuk juga, kami kenai sanksi penangguhan untuk tidak boleh ekspor melalui surat kepada DJBC,” kata Farida. Keberadaan SiMoDIS diharapkan dapat membantu BI dalam mengawasi eksportir dan importir yang tidak patuh atau lalai.
Pada sistem yang lama, Bank Indonesia berkolaborasi dengan DJBC untuk mencatat devisa kegiatan ekspor-impor sejak 2012. DJBC menerima laporan dari eksportir dalam bentuk Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dan Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
Data kemudian dilaporkan ke BI setiap bulan melalui sebuah aplikasi pengawasan. BI mengecek kevalidan data itu dengan data yang diterima dari bank devisa.
Adapun tingkat kepatuhan eksportir dalam memenuhi ketentuan penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) sebenarnya terus membaik. Tingkat kepatuhan hanya sebesar 56,6 persen pada 2012. Angka tercatat meningkat secara bertahap hingga mencapai 99,6 persen pada 2017 dan 98 persen pada Oktober 2018.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyampaikan, kebutuhan data yang aktual dan terintegrasi dibutuhkan untuk mengetahui tren ekspor dan impor Indonesia.
”Saya perkirakan beberapa tahun ini sebenarnya terjadi perubahan komposisi impor dari bahan baku dan modal menjadi barang konsumsi. Ini karena produksi industri turun beberapa terakhir, tetapi data menunjukkan impor tetap tinggi,” kata Enny. Sistem tersebut diharapkan dapat menjawab kecurigaan tersebut.
Pantau e-dagang
Farida melanjutkan, pengembangan SiMoDIS akan dilanjutkan ke tahap kedua pada 2020. Sistem ini akan dapat memantau arus barang hasil transaksi dari platform e-dagang. BI akan berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan dalam tahap ini.
Menurut Farida, PEB dan PIB belum mencakup transaksi yang dilakukan dalam platform e-dagang. BI akan menggunakan data dari pasar (marketplace) dan penyelenggara sistem pembayaran untuk memvalidasi transaksi yang terjadi.
”Kami akan cocokkan untuk tahu persis berapa ekspor-impor, termasuk e-dagang antar-negara. Impor kita tumbuh tinggi jauh lebih besar dari ekspor,” kata Farida.
Deputi Direktur Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan BI Elly Silitonga menambahkan, fokus saat ini adalah mendata PEB dan PIB karena menyumbang devisa terbesar dibandingkan e-dagang.