JAKARTA, KOMPAS — Edukasi harga bahan bakar minyak kepada masyarakat sangat penting. Masyarakat perlu paham bahwa pergerakan harga bergantung pada harga minyak mentah dunia dan posisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Pemerintah sudah memutuskan bahwa harga jual premium dan solar subsidi tidak berubah di tahun ini.
Harga premium dipatok Rp 6.450 per liter dan solar subsidi Rp 5.150 per liter. Harga tersebut tak berubah sejak April 2016. Padahal, harga minyak mentah dan kurs rupiah terhadap dollar AS terus berubah atau mengalami naik turun. Evaluasi harga setiap tiga bulan tak lagi diterapkan oleh pemerintah.
"Saya kira pemerintah terlalu dini mengambil kebijakan (tak mengubah harga premium dan solar subsidi). Bagaimanapun harga minyak merupakan salah satu hal yang sulit diprediksi," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro saat dihubungi, Minggu (6/1/2019), di Jakarta.
Komaidi menambahkan, penyesuaian harga BBM terhadap harga minyak mentah dunia dan posisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS penting untuk menjaga daya fiskal APBN maupun PT Pertamina (Persero). Di satu sisi, masyarakat harus paham dan sadar bahwa harga jual BBM sangat bergantung pada dua faktor tersebut. Apalagi, Indonesia adalah negara pengimpor bersih minyak (net importir) sejak 2004.
Pertamina mulai menurunkan harga jual bahan bakar pertalite, pertamax, serta pertamina dex (solar non subsidi) per Sabtu (5/1). Dengan harga baru tersebut, pertalite (RON 90) turun Rp 150 per liter menjadi Rp 7.650 per liter. Pertamax (RON 92) turun Rp 200 per liter menjadi Rp 10.200 per liter. Adapun pertamax turbo (RON 95) turun Rp 250 per liter menjadi Rp 12.000 per liter.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, penurunan harga BBM nonsubsidi akibat pengaruh turunnya harga minyak mentah dunia adalah wajar. Penurunan harga tersebut hanya berdampak bagi pemilik kendaraan pribadi. Hal terpenting justru memikirkan dan mempertimbangkan harga BBM bersubsidi untuk jangka panjang.
”Pada saat yang tepat, pemerintah perlu melepas subsidi secara bertahap guna membenahi kondisi fiskal dan perilaku konsumtif masyarakat,” kata Hariyadi (Kompas, 6/1).
Subsidi naik
Sementara itu, realisasi subsidi energi 2018 naik 57 persen dibanding tahun sebelumnya. Pada 2017, realisasi subsidi energi sebesar Rp 97,6 triliun dan meningkat menjadi Rp 153,5 triliun di 2018. Kenaikan tertinggi terjadi pada subsisi bahan bakar minyak dan elpiji yang naik dari Rp 47 triliun menjadi Rp 97 triliun.
Menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto, kenaikan subsidi dipicu naiknya konsumsi dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Selain itu, alokasi subsidi untuk solar yang sebelumnya Rp 1.000 per liter naik menjadi Rp 2.000 per liter.
"Konsumsi elpiji meningkat. Nilai kurs (rupiah terhadap dollar AS) juga jadi penyebab," ucap Djoko.
Sementara itu, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Fanshurullah Asa mengatakan, sepanjang 2018, realisasi penyaluran solar bersubsidi sebanyak 15,5 juta kiloliter. Realisasi itu setara 99,5 persen dari kuota yang ditetapkan pemerintah sebanyak 15,6 juta kiloliter. Adapun realisasi penyaluran premium sebanyak 9,2 juta kiloliter dari kuota yang diberikan pemerintah sebanyak 11,8 juta kiloliter.
"Bandingkan dengan realisasi penyaluran solar bersubsidi di 2017 yang sebanyak 14,5 juta kiloliter. Naiknya sebanyak 1 juta kiloliter di 2018. Itu membuat subsidi bertambah," ujar Fanshurullah.