Industri Pelayaran Tumbuh Tipis di Tahun 2018
JAKARTA, KOMPAS - Industri pelayaran, yang menjadi motor pendorong pertumbuhan industri lain dan juga perekonomian daerah, belum mampu bersinar cerah di tahun 2018. Pasalnya, banyak tantangan yang dihadapi baik dari sisi kebijakan moneter maupun dari sisi fiskal.
Besarnya suku bunga kredit yang masih di atas 12 perse, dan PPN untuk bahan bakar minyak pelayaran dalam negeri, menjadi contoh kendala yang masih dihadapi oleh industri pelayaran.
"Padahal pelayaran menjadi motor pertumbuhan bagi daerah-daerah di Indonesia Timur dan pulau-pulau terluar. Selain itu industri pelayaran juga mendorong pertumbuhan industri lain seperti galangan kapal, industri komponen kapal, asuransi dan pendidikan SDM. Jika pelayaran tumbuh, maka industri terkait lainnya akan ikut tumbuh," kata Ketua Umum DPP Indonesia National Shipowners\' Association (INSA) Carmelita Hartoto di Jakarta, Senin (7/1/2019).
Carmelita mengatakan, pada dasarnya pelayaran nasional hanya membutuhkan perlakuan setara seperti negara lain memberlakukan kebijakan kepada industri pelayaran mereka. Misalnya seperti suku bunga yang rendah. Jika kebijakan sudah mengarah pada perlakuan setara ini, dia optimistis pelayaran akan kian berdaya saing dan mampu mencatatkan kinerja positif, yang pada akhirnya memberikan kontribusi lebih besar bagi ekonomi nasional.
Dia menambahkan, secara keseluruhan sepanjang tahun 2018 pelayaran tumbuh tipis. Namun sektor tanker dan sektor tongkang yang mengalami pertumbuhan bagus. Sedangkan general kargo, peti kemas domestik, dan lepas pantai (offshore) tumbuh sedikit.
Sektor kapal tanker domestik mencatatkan kinerja positif di 2018 karena terjadi lonjakan muatan FAME terkait kebijakan B20 yang cukup signifikan sehingga menyebabkan perubahan arus muatan. Lonjakan ini membuat kelangkaan sementara untuk tipe kapal ukuran 2.000-5.000 DWT. Hal ini disamping ketersediaan kapal tanker yang terbatas juga disebabkan oleh pola operasi distribusi FAME yang masih belum optimal, sehingga penggunaan ruang muat kapal tidak efisien serta waktu menunggu bongkar yang relatif lama.
Di sektor tongkang, angkutan batu bara optimistis akan mencatat pertumbuhan positif. Pada tahun 2018, target volume produksi batu bara sebesar 485 juta ton, utilisasi bulk dan tongkang mencapai 100 persen. Dengan kenaikan volume produksi batu bara pada 2019 naik 28,3 persen, maka utilisasi serapan bulk dan tongkang akan menjadi setara atau berada pada level yang menggairahkan bagi pelaku industri bulk dan tongkang. Apalagi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan tetap tumbuh di kisaran 5-5,3 persen.
Ali Samad, Ketua Bidang Tug and Barge DPP INSA mengatakan peningkatan utilisasi bulk dan tongkang belum termasuk material galian C yang tetap tinggi di tahun 2019. "Pemerintah ingin menggenjot penyelesaian pembangunan infrastruktur dalam mendukukung kelancaran arus barang dan disparitas harga antar wilayah di semua kawasan Indonesia," kata Ali.
Wakil Ketua I DPP INSA Witono Soeprapto mengatakan, rendahnya pertumbuhan general kargo karena infrastruktur di pelabuhan kurang mendukung. "Banyak pelabuhan yang lebih memilih untuk membangun terminal peti kemas. Sementara terminal curah belum digarap maksimal. Akibatnya kapal harus mengantre lama, tetapi memang muatan general kargo juga mengalami penurunan. Saat ini pengiriman lebih banyak curah bahan baku," kata Witono.
Adapun sektor peti kemas domestik akan sangat dipengaruhi pada kinerja ekonomi Indonesia. Dari triwulan I hingga III 2018, ekonomi nasional tumbuh berkisar 5 persenan. Pada RAPBN 2019, ekonomi nasional juga dipatok tumbuh 5,3 persen. Dengan melihat itu, sektor peti kemas diprediksi mencatatkan pertumbuhan yang tidak jauh berbeda.
Meski angkutan ekspor impor masih didominasi pelayaran asing, di sektor peti kemas pelayaran nasional optimistis akan mencatatkan kinerja lebih baik pada tahun 2019. Namun peningkatan jumlah muatan tidak terjadi pada kegiatan impor, kecuali untuk komoditas bahan baku.
Catatan sektor offshore (lepas pantai) di 2018 hanya mengalami pertumbuhan tipis, meski utilisasinya sudah 50 persen. Kondisi ini disebabkan perusahaan minyak masih melakukan efisiensi di tengah tantangan fluktuasi harga minyak dunia.
Dalam RAPBN 2019, harga minyak dipatok berkisar 70 dollar AS per barel dengan produksi minyak 750.000 bph.
Nova Y Mugijanto, Bendahara Umum INSA yang juga pelaku usaha pelayaran offshore mengatakan pertumbuhan sektor offshore diprediksi juga belum tumbuh signifikan di 2019. "Tarif sewa kapal untuk lepas pantai masih rendah, dan persaingan usaha yang ketat. Pertumbuhannya diprediksi masih berkisar 5-10 persen, karena PT Pertamina sebagai pemain utama juga masih dihadapkan sejumlah tantangan," kata Nova.
Sektor lepas pantai berharap, aktivitas eksploitasi dan eksplorasi dapat terus meningkat di tahun depan, yang secara paralel akan mengerek kinerja mereka di tahun depan.