Kabar Muram di Awal Tahun
Perang dagang, Brexit, dan kenaikan suku bunga Amerika Serikat telah memengaruhi secara signifikan kinerja ekonomi global. Ada tantangan mengadopsi pendekatan ramah bisnis di 2019.
Baru sepekan kilau kembang api menghiasi langit, menandai pergantian tahun. Namun, buru-buru aneka kabar muram tersaji, menggelayuti arah ekonomi global.
Produsen Amerika Serikat melaporkan perlambatan pertumbuhan untuk bulan Desember yang adalah perlambatan paling tinggi selama lebih dari satu dekade, Kamis (3/1/2019). Indeks pembelian Institute for Supply Management merosot 5,2 poin pada Desember dibandingkan bulan sebelumnya, penurunan bulanan terbesar sejak Oktober 2008. Konflik dagang dengan China, penurunan harga ekuitas, dan meningkatnya ketidakpastian akhirnya mulai berdampak terhadap ekonomi.
Produsen AS memang melaporkan peningkatan pesanan, hasil produksi, pekerjaan, dan inventaris, yang mengindikasikan sektor ini terus berkembang, tetapi pada tingkat yang jauh lebih lambat daripada sebelumnya.
Komponen pesanan baru merosot 11 poin dan tetap sedikit di atas ambang 50 poin, menunjukkan hilangnya momentum yang dapat meluas hingga awal 2019.
AS tampaknya kebal terhadap perlambatan pertumbuhan, terbukti di sebagian besar ekonomi utama sejak pertengahan 2018. Namun, hilangnya momentum yang dilaporkan itu menunjukkan ekonomi negeri adidaya itu tidak kebal dari tren global yang lebih luas. Perlambatan di AS konsisten dengan indikator lain yang menunjukkan perlambatan signifikan dalam pesanan ekspor global dan aliran perdagangan.
Kamis lalu, pasar saham anjlok karena perlambatan ekonomi China memaksa Apple Inc memangkas perkiraan pendapatannya, menghapus sekitar 75 miliar dollar AS dari nilai perusahaan, dan menekan sentimen investor global. Faktor itu berkontribusi pada penurunan tajam di pasar saham sejak akhir tahun lalu.
Langkah China
Otoritas China sendiri terus berupaya menahan penurunan lebih lanjut. Presiden China Xi Jinping boleh saja mengapresiasi program reformasi ekonomi China. Namun, ada indikasi dilakukannya penyesuaian lanjutan atas langkah-langkah Beijing.
Bank sentral China, PBOC, Jumat (4/1), mengatakan, pihaknya memotong jumlah uang tunai yang harus dimiliki bank sebagai cadangan. Kebijakan untuk kelima kalinya dalam satu tahun terakhir itu dapat menambah pasokan hingga 116 miliar dollar AS untuk pinjaman baru yang diharapkan mengurangi risiko perlambatan ekonomi yang lebih tajam.
Langkah-langkah dukungan terbaru itu, merujuk Reuters, dilakukan di tengah meningkatnya kekhawatiran atas kinerja ekonomi China. Negeri itu tengah menghadapi permintaan yang melambat di dalam negeri dan menghadapi konsekuensi langsung dan tidak langsung terhadap tarif impor yang diberlakukan AS.
Pemotongan rasio persyaratan cadangan bank (RRR) adalah yang pertama pada 2019. Rasio persyaratan cadangan (RRR)—saat ini 14,5 persen untuk lembaga besar dan 12,5 persen untuk bank kecil—akan diturunkan dengan total 100 basis poin (bps) dalam dua tahap, demikian dikatakan salah satu pejabat PBOC. Pemotongan akan efektif pada 15 Januari dan 25 Januari, menjelang perayaan Tahun Baru Imlek.
Menantang
Tahun ini bakal lebih menantang, untuk tidak mengatakan lebih buruk daripada tahun lalu. Padahal, menurut Ben Chu, editor ekonomi The Independent, rasanya baru 12 bulan lalu prospek ekonomi global sangat menggembirakan, bahkan kuat: kepercayaan bisnis tinggi dan sentimen konsumen kuat.
Kini segalanya tampak jauh lebih tidak semarak. Dana Moneter Internasional (IMF) mengharapkan pertumbuhan global pada 2019 di angka 3,7 persen, sama seperti yang diharapkan untuk 2018 dan 2017. Namun, ini adalah penurunan dari 3,9 persen yang diharapkan delapan bulan lalu, sementara konsensus di antara ekonom sektor swasta hanya 3,6 persen.
Pertumbuhan AS diperkirakan melambat cukup tajam dari 2,9 persen (2018) jadi 2,5 persen pada 2019 karena stimulus dari pemotongan pajak yang tidak didanai oleh Donald Trump berkurang. Proyeksi ekspansi di AS, Jerman, dan Perancis telah dicukur habis. Ada proyeksi penurunan pertumbuhan untuk India, Brasil, Meksiko, dan Afrika Selatan.
Ekonomi Jerman, Italia, dan Jepang secara tak terduga mengalami kontraksi pada triwulan ketiga 2018, merujuk data PDB resmi terbaru dari negara-negara itu. Kontraksi Jerman—terutama karena penutupan pabrik di sektor otomotifnya—adalah yang pertama sejak 2015.
Jadi, apa yang menjelaskan awan yang kelam itu? Jawaban singkatnya adalah: perang dagang, kenaikan suku bunga AS, dan Brexit.
Agresi perdagangan Donald Trump terhadap China—tarifnya atas impor 200 miliar dollar AS dan ancaman lebih— tampaknya telah memukul ekonomi riil, merusak sentimen di antara perusahaan-perusahaan, merusak investasi.
Pesanan ekspor baru untuk produsen telah jatuh ke wilayah kontraksi di Jerman dan China. Pertumbuhan lalu lintas pelabuhan kontainer juga melambat tajam.
Melalui tarif, sanksi, dan tindakan lain yang telah meningkatkan ketidakpastian bagi dunia bisnis, para pembuat kebijakan telah terperangah dan ikut mendorong ekonomi global ke jurang perlambatan.
Mau tidak mau mereka harus membalikkan arah dan mulai mengadopsi pendekatan yang lebih ramah bisnis guna menahan perlambatan global lebih lanjut atau siap-siap menghadapi resesi yang menanti di depan mata tahun ini.(BENNY D KOESTANTO)