TANGERANG SELATAN, KOMPAS -- Selamat datang di era kolonialisasi digital. Umat beragama yang baik sayangnya tak memiliki dan tak memproduksi konten positif untuk memenangkan perang informasi di era digital. Akibatnya, linimasa dipenuhi dengan konten negatif dan berita bohong (hoaks), yang bisa merusak persatuan dan kesatuan bangsa, bahkan merusak generasi berikut bangsa ini. Untuk itu, perlu ada kolaborasi digital dari umat beragama yang peduli, untuk menyebarkan kebaikan.
Peringatan itu disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Imam Pituduh dalam dialog perdamaian antarumat beragama di Aula Leo Sukoto, Gereja Santo Matius Bintaro, Kota Tangerang Selatan, Banten, Minggu (6/1/2019). “Ayo, bangun brothers! Orang-orang baik itu, termasuk umat di sini, adalah sleeping giant of information. Sekarang bangun! Mari memproduksi konten positif, dan menangkan perang melawan hoaks. Kita harus bersama-sama menyebarkan kebaikan, sehingga tak ada lagi hoaks di mana-mana,”ungkap Imam lagi.
Sebelumnya, Direktur Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta Prof Dr Franz-Magnis Suseno SJ, yang juga rohaniwan Katolik, dalam dialog itu, mengatakan, hoaks adalah lelucon yang tidak lucu. Hoaks menjelek-jelekkan orang atau kelompok lain. Orang yang beragama tak menjelek-jelekkan orang lain. Musuh saja tak dijelek-jelekkan.
“Kita di Indonesia selalu ada masalah. Namun, saya optimistis. Indonesia kini lebih baik dibandingkan 70 tahun lalu. Oleh karena itu, mari terus kita upayakan perdamaian,”kata Magnis. Perdamaian bisa diwujudkan, antara lain dengan kemampuan umat mengendalikan diri untuk tak mengganggu umat beragama yang lain. “Jika ada umat lain, atau tetangga tak mengucapkan salam, ya tidak perlu kita mempersoalkannya,”lanjutnya. Diri kita sendirilah yang harus tetap baik kepada warga yang lain.
Bukan lagi teritorial
Imam menuturkan, perilaku sebagian besar umat, apapun agamanya, di Indonesia kini berubah. “Bangun tidur sampai tidur lagi yang dicari handphone (HP). Bukan suami atau istrinya lagi. HP menjadi suami atau istri pertama, karena semua media sosial dan transformasi digital ada di situ. Jadi, yang dijajah bukan lagi teritorial, tetapi kesadaran psikologis umat. Perang inilah yang terjadi,”ingatnya.
Hoaks merupakan bagian dari upaya mencari kemenangan dalam perang digital itu. Kemenangan itu ditentukan oleh siapa yang bisa menyebarkan secara masif atau memviralkan sesuatu informasi, dan membuatnya menjadi topik yang dibicarakan banyak orang (trending topic). Pemilik konten yang terbanyaklah yang memiliki peluang untuk memenangkan perang ini.
“Umat yang baik itu jarang berkolaborasi di dunia maya. Bahkan, hampir tak pernah. Ada kedekatan umat beragama di Indonesia, tetapi tak ada gerakan bersama di dunia maya. Orang baik diam, tak pernah membangun resonansi kebaikan di dunia maya. Akibatnya, resonansi keburukan, hoaks yang mendominasi. Menguatkan. Informasi yang tidak benar, hoaks, jika diidengungkan berkali-kali akan menjadi kebenaran. Persepsi menentukan dalam dunia politik dan informasi,”tegas Imam.
Menurut Imam lagi, tokoh dan umat beragama yang baik di Indonesia sudah biasa melakukan dialog perdamaian atau dialog keagamaan. Namun, dalam aksi di masyarakat, termasuk di dunia maya, justrujalan sendiri-sendiri. Akibatnya, tak bisa resonansikan kebaikan. Seharusnya bersama-sama, sehingga ada resonansi kebaikan. Lakukan gerakan bersama itu sekarang,”paparnya.
Imam menambahkan pula, dialog antarumat beragama di Indonesia sekarang perlu penyegaran, perlu rejuvinasi. Dialog harus disertai dengan kerja sama, dan tak cukup dialog. “Dialog melulu itu omong doang. Umat beragama yang baik juga harus menjadi benteng pertahanan cyber. Jika tidak, agama dan organisasi keagamaan akan tergulung. Kita kurang aksi untuk membangun kebersamaan dan menggerakan kebijakan publik. Toleransi itu harus dengan tindakan. Toleransi sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka, dan harus terus dibangun, sampai anak cucu kita,”ingatnya.
Bebas memilih
Magnis mengingatkan pula, pemilu adalah sesuatu yang hakiki dalam demokrasi. “Kita punya dua kandidat. Orang bebas memilih mana yang dianggap lebih baik. Umat tidak akan kurang baik, jika memilih salah satu calon yang berbeda dengan umat lainnya. Jangan izinkan ketegangan politik yang keras menjelang pemilu itu merusak relasi antarumat beragama,”tandas peraih Bintang Mahaputra dari pemerintah itu.
Dalam kenyataan, lanjut Magnis, semua pemilu di Indonesia berlangsung bebas sejak reformasi, dan juga pada Pemilu 1955. Semua berjalan dengan damai dan saling menghormati. Tidak ada masalah dengan rakyat, dan berlangsung damai, meskipun seseorang mempunyai pilihan politik yang berbeda dengan orang lain.
Namun, perdamaian itu kini mulai terganggu dengan tindak intolerensi. Intoleransi itu bertambah sejak era reformasi. Pihak yang radikal kini keluar, menggunakan kebebasan yang ada. Ada berbagai tindakan intoleran, tetapi sebenarnya hal itu hanya dilakukan oleh sedikit orang atau kelompok kecil orang yang mentalnya tak beres, dengan harapan akan muncul kebencian di antara umat beragama. Tindakan intoleransi itu, jelas Magnis, mungkin saja mempunyai maksud politik.
Umat beragama penting melihat fakta. Di Indonesia, bahkan termasuk di Aceh yang menjalankan Syariat Islam, sekurang-kurangnya 95 persen umat Katolik hidup, bekerja, dan beraktivitas dengan aman. Hidup tanpa rasa takut sama sekali. Orang Katolik, papar Magnis, tidak perlu takut berjalan, karena akan dipukuli oleh warga yang beragama lain. Toleransi di Indonesia masih tinggi. Bahkan, pindah agama saja diizinkan.
Walaupun demikian, Magnis meminta tumbuhnya sikap intoleransi dari sekelompok kecil warga tetap tak bisa dibiarkan. Harus ditindak tegas.
Imam menambahkan, Nabi Muhammad SAW pun pada masanya tidak hanya berhubungan baik dengan umat agama lain, tetapi juga berdagang dengan mereka. Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan, karena Islam adalah rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta). Tiada kekerasan dalam agama apapun. (tra)