JAKARTA, KOMPAS - Kehadiran hoaks di ranah digital pada setiap masa kontestasi politik selalu meningkat. Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia mencatat, dalam waktu kurang dari sepekan pada Januari 2019, terdapat 12 informasi hoaks terkait Pemilu 2019 yang telah mereka klarifikasi.
Ke-12 informasi hoaks itu di antaranya, surat suara yang tercetak sebelum 1 Januari, gelar profesor Sandiaga S Uno yang tak dipakai, praktik politik uang di tubuh KPU dan Panwaslu, meme soal PKI-P dengan logo sejumlah partai, tujuh kontainer surat suara tercoblos, dan lainnya.
Terkait fenomena menjamurnya hoaks ini, Kepolisian Negara RI memastikan menjadikan penanganan hoaks sebagai prioritas, khususnya dalam masa tahapan pemilu berlangsung. Meskipun demikian, pemberantasan hoaks butuh waktu panjang terutama dalam mengedukasi masyarakat tentang informasi yang merupakan kabar palsu.
Saat ini, Bareskrim Polri tengah menangani kasus hoaks terbesar kedua terkait pemilu. Kasus yang dimaksud adalah hoaks terkait tujuh kontainer pembawa jutaan surat suara yang sudah tercoblos. Penyidik telah mengamankan dua tersangka penyebar hoaks. Sebelumnya, Oktober lalu, Ratna Sarumpaet ditahan karena memproduksi dan menyebarkan berita bohong mengenai penganiayaan terhadap dirinya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo, Minggu (6/1/2019), di Jakarta, menekankan, penegakan hukum kepada produsen dan penyebar adalah upaya terakhir Polri dalam langkah mitigasi dan memerangi hoaks. Penegakan hukum utamanya diberlakukan dalam kasus hoaks yang telah meresahkan masyarakat.
”Penegakan hukum dilakukan untuk mencegah masyarakat ikut-ikutan menyebarkan konten hoaks karena perbuatan itu melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta peraturan hukum lainnya,” ujarnya.
Terkait hoaks surat suara tercoblos, Polri telah menetapkan LS dan HY sebagai tersangka penyebar konten berita bohong di media sosial dan grup WhatsApp. Tetapi, Dedi memastikan, kedua tersangka itu tidak memiliki keterkaitan, sebab hoaks yang disebarkan juga diterima dari media sosial tanpa melalui proses verifikasi. Selanjutnya, pada pekan ini, tim penyidik akan menentukan keterlibatan pihak-pihak lain dalam penyebaran hoaks itu.
Literasi digital
Terkait rendahnya keinginan publik melakukan verifikasi terhadap informasi di media sosial, Dedi menyatakan, pihaknya telah berkerja sama dengan kementerian/lembaga dan masyarakat sipil jntuk melakukan program literasi digital dan edukasi agar masyarakat cerdas memanfaatkan media sosial.
Selain penegakan hukum, Polri berupaya untuk mengedukasi masyarakat soal hoaks. Polri pun berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk memberantas akun-akun media sosial penyebar hoaks melalui kebijakan pemblokiran.
Juru bicara BSSN Anton Setiawan menjelaskan, literasi digital telah dilalukan oleh BSSN, termasuk dengan menggandeng media untuk menyebarkan pemahaman masyarakat terhadap bahaya hoaks. Terdapat empat langkah yang telah disusun BSSN untuk menyadarkan masyarakat agar terhindar dari hoaks.
Pertama, mengecek kembali ketika menerima berbagai informasi yang diterima di dunia maya. Kedua, jangan mudah curiga kepada pihak yang disukai atau tidak disukai ketika mendapatkan informasi. Ketiga, menyampaikan gagasan secara bijak. Terakhir, sabar dan hawa nafsu untuk menyebarkan konten pemecah belah bersifat ujaran kebencian atau SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).
Penyebaran hoaks tak akan mudah diantisipasi hanya melakukan langkah jangka pendek, seperti pemblokiran dan penegakan hukum. Diperlukan program literasi digital yang terus-menerus untuk memerangi hoaks.
Namun, Ketua Komite Pengecekan Fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Aribowo Sasmito menuturkan, penyebaran hoaks tak akan mudah diantisipasi hanya melakukan langkah jangka pendek, seperti pemblokiran dan penegakan hukum. Diperlukan program literasi digital yang terus-menerus untuk memerangi hoaks.
Selain 12 informasi palsu yang telah diverifikasi, Aribowo mengungkapkan, pihaknya mengecek 6 informasi yang viral di media sosial. Peningkatan pemahaman dan edukasi publik adalah satu-satunya langkah efektif untuk mengurangi kebutuhan terhadap produksi hoaks.