Pemerintah Wacanakan Denda bagi Penyelenggara Media Sosial
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengenakan penalti atau denda kepada perusahaan platform media sosial yang tidak serius mengendalikan peredaran informasi palsu atau hoaks. Namun, ketentuan itu diharapkan tidak mengancam kebebasan berekspresi.
Presidium Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Anita Wahid, yang dihubungi, Minggu (6/1/2019), di Jakarta, mengatakan, rencana Pemerintah Indonesia itu menyerupai langkah Pemerintah Jerman. Jerman memberlakukan denda dengan nominal cukup besar kepada platform yang penggunanya kedapatan mengunggah konten ujaran kebencian sejak tahun lalu. Hasilnya positif, yakni penyelenggara platform menyisir konten-konten yang diunggah pengguna secara aktif.
Namun, dalam perjalanan kebijakan, muncul kasus seorang komedian memproduksi konten berupa opini satir di Twitter. Twitter pun segera meminta dia menghapus postingan itu karena dianggap sebagai ujaran kebencian.
”Pemerintah Indonesia perlu terlebih dahulu mengkaji batasan-batasannya. Hal tidak kalah penting adalah apakah rencana penerapan penalti rupiah tersebut sudah selaras dengan peraturan perundangan yang telah berlaku,” kata Anita.
Rencana pemerintah menerapkan penalti rupiah kepada platform media sosial yang tidak serius mengendalikan peredaran informasi palsu dimasukkan dalam draf revisi PP Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan telah menyampaikan rencana tersebut pada November 2018. Sejalan dengan draf revisi PP itu, Semuel mengatakan, Kemkominfo menyiapkan draf revisi PP tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang salah satu substansinya mengenai nilai penalti rupiah kepada platform media sosial. Dia menyebut besarannya bisa berkisar Rp 1 miliar-Rp 10 miliar.
Menkominfo Rudiantara kembali menyampaikan rencana itu di sela-sela kunjungan kerja ke Provinsi Maluku Utara pada 2-3 Januari 2019. Hingga sekarang, pembahasan draf revisi masih berada di Sekretariat Negara.
Anita berpendapat, dengan merealisasikan penalti rupiah, penyelenggara platform media sosial akan berkomitmen lebih, terutama dalam tindakan pencegahan penyebaran informasi palsu. Dengan kata lain, platform ikut bertanggung jawab terhadap pendistribusian konten.
Penyisiran
Setelah beredar kabar palsu mengenai tujuh kontainer berisi surat suara Pemilihan Presiden 2019 yang sudah dicoblos di media sosial dan aplikasi pesan instan, Kemkominfo melakukan identifikasi, penelusuran akun, serta penyebaran.
Hasil identifikasi menunjukkan kemunculan informasi palsu itu pertama kali terjadi tanggal 1 Januari 2019 pukul 23.35 di media sosial. Selanjutnya, informasi menyebar ke sejumlah akun dan menjadi bahan pemberitaan oleh media nasional.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemkominfo Ferdinandus Setu mengemukakan, hasil identifikasi dan temuan analisis informasi palsu tersebut telah diserahkan kepada Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia pada hari Kamis (3/1/2018) pukul 15.00.
Dia mengklaim penyisiran informasi palsu menggunakan mesin AIS dilakukan rutin. Laporan hasil penyisiran bisa keluar setiap minggu dan bulanan.
Sejak Agustus 2018, Kemkominfo aktif menyisir informasi palsu khusus mengenai pemilihan umum presiden dan wakil presiden di internet. Pada bulan Agustus ditemukan 11 judul konten, September tercatat delapan judul, Oktober terkumpul 12 judul, November sebanyak 13 judul, dan Desember ada 16 judul.
Sejak Oktober 2017, Ferdinandus mengatakan, Kemkominfo menginisiasi Gerakan Nasional Literasi Digital bernama Siberkreasi. Hingga saat ini, lebih dari 95 instansi kementerian, lembaga, ormas, BUMN, dan perguruan tinggi terlibat dalam siberkreasi. Setiap hari, klaim dia selalu ada kegiatan literasi digital ke masyarakat.
Kemkominfo juga memiliki struktur organisasi di Ditjen Aptika yang secara spesial mengemban tugas literasi digital, yakni Subdit Literasi Digital di Direktorat Pemberdayaan Informatika. ”Salah satu upaya pencegahan peredaran informasi palsu dengan gencar melakukan literasi digital ke masyarakat,” katanya.