Penyelesaian Kasus HAM Berat Masa Lalu Masih Terganjal
Oleh
A Ponco Anggoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu masih terganjal. Hasil penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tak kunjung ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung. Kejaksaan dinilai tidak sungguh-sungguh menyelesaikannya sekalipun penyelesaian kasus merupakan janji Presiden Joko Widodo di Pemilu Presiden 2014.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Mohammad Choirul Anam saat ditemui di kantornya, Senin (7/1/2019), memberi contoh kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat dalam Operasi Jaring Merah saat Aceh berstatus Daerah Operasi Militer, pada 1989-1998, atau dikenal dengan kasus Rumah Geudong.
Rumah Geudong merupakan rumah adat Aceh yang saat itu dijadikan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai pos satuan taktis dan pos strategis guna menginterogasi orang-orang yang diduga bagian atau simpatisan dari Gerakan Aceh Merdeka.
Berkas hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus itu, telah diserahkan ke Kejaksaan Agung sejak akhir Agustus 2018. Namun, hasil penyelidikan masih tertahan di Kejaksaan Agung (Kejagung). “Belum ada tindak lanjut dari Kejagung,” katanya.
Dia melihat, tak kunjung ditindaklanjutinya hasil penyelidikan Komnas HAM atas pelanggaran HAM berat di Aceh, dan kasus-kasus HAM masa lalu, karena ketiadaan komitmen Kejagung untuk menyelesaikannya.
Ini terlihat dari tidak adanya upaya dari Kejagung untuk menyidik kasus-kasus tersebut, baik memperdalam keterangan saksi-saksi atau membentuk tim penyidik untuk mencari bukti lain.
Meski demikian, Choirul Anam mencoba berpikir positif. Ini karena ketika penegakan hukum tak kunjung dilakukan oleh Kejagung, bukti-bukti baru justru semakin banyak dilaporkan masyarakat, yang semakin menguatkan telah terjadinya pelanggaran HAM berat. Bukti itu bisa berupa dokumen negara atau kesaksian dari mereka yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung saat pelanggaran HAM terjadi. Bukti-bukti ini sekalipun belum termuat di laporan hasil penyelidikan Komnas HAM, dapat memperkuat alat bukti yang sudah ada.
"Itu (bukti-bukti baru) bisa diambil oleh Jaksa Agung untuk memperdalam konstruksi peristiwa dan menentukan pihak yang bertanggungjawab," tambahnya.
Ini dengan merujuk pada ketentuan hukum acara yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa pengumpulan bukti menjadi tanggung jawab Kejagung sebagai penyidik.
Bukti yang dilaporkan masyarakat itu, dapat membantu kerja Kejagung dalam menyidik perkara pelanggaran HAM berat. Apalagi menurut Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, Kejagung selama ini kerap memposisikan diri sebagai penyelidik, bukan penyidik.
Dengan posisi itu, tidak jarang Kejagung mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM, dan menyatakan berkas tersebut, belum lengkap. Padahal, Kejaksaan Agung yang berfungsi juga sebagai penyidik seharusnya mampu menemukan bukti-bukti baru serta menentukan fakta mana saja yang kuat dan dapat dimasukkan di persidangan.
Dia pun mengingatkan, agar Kejagung memperbaiki kinerjanya, dan sungguh-sungguh menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu. Sebab jika tidak, bisa berimbas pada kepercayaan publik terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pasalnya penyelesaian masalah HAM berat masa lalu merupakan salah satu yang dijanjikan Jokowi-JK saat terpilih di Pemilu Presiden 2014. (Lorenzo Anugrah Mahardhika)