Perkawinan Anak Rawan Timbulkan ”Stunting” pada Bayi
Oleh
Khaerudin
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena perkawinan anak masih terus terjadi di Indonesia. Padahal, perkawinan anak menimbulkan banyak risiko kesehatan, terutama bagi perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun dan anak yang ia lahirkan. Salah satu akibatnya, anak yang dilahirkan rawan mengalami stunting atau tubuh pendek.
Laporan analisis data perkawinan usia anak di Indonesia oleh Badan Pusat Statistik menyebutkan, sebanyak 340.000 perkawinan Indonesia terjadi pada anak perempuan berusia di bawah 18 tahun. Analisis tersebut berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia pada 2008-2012.
”Alat-alat reproduksi pada wanita di bawah 18 tahun itu masih belum tumbuh optimal sehingga, jika terjadi kehamilan, bisa diikutsertai dengan keguguran, kelainan-kelainan pada kehamilan, bisa juga disertai dengan stunting serta pertumbuhan otak yang tidak optimal (pada janin),” kata dokter ahli kebidanan Sarsanto W Sarwono, Senin (7/1/2018).
Sarsanto mengatakan, perempuan, terutama anak di bawah 18 tahun, sangat rawan terkena anemia yang dapat berpengaruh pada kesehatan ibu hamil dan janin. Keadaan ini juga masih dianggap sepele, terutama anak muda yang rutin mengonsumsi makanan cepat saji.
Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), masih ada 48,9 persen ibu hamil yang terkena anemia. Dari jumlah itu, hanya 75 persen yang mendapatkan tablet penambah darah dari pemerintah.
Padahal, dibutuhkan tubuh yang fit untuk mengandung janin yang sehat. Pasalnya, konsumsi gizi ibu hamil diperuntukkan buat dua tubuh, dirinya sendiri dan janinnya. Pada saat hamil, hemoglobin perempuan tidak boleh kurang dari 12 gram/desiliter agar risiko stunting pada bayi dapat diminimalisasi.
Anak yang mengidap stunting, selain bertubuh pendek, juga memiliki standar intelligence quotient (IQ) lebih rendah dibandingkan dengan anak yang terlahir normal.
”Standar IQ anak stunting lebih rendah 10 poin dibandingkan dengan yang tidak stunting,” kata Direktur Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat untuk Mengurangi Stunting Iing Mursalin.
Perkawinan anak menimbulkan banyak risiko kesehatan, terutama bagi perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun dan anak yang ia lahirkan. Salah satunya, anak yang dilahirkan rawan mengalami stunting.
Oleh karena itu, Iing mengatakan, dibutuhkan beberapa langkah untuk mencegah stunting. Salah satunya dengan memperbaiki gizi ibu hamil.
Langkah utama ialah pemeriksaan kehamilan yang rutin. Berdasarkan data TNP2K, ibu hamil yang melakukan pemeriksaan pertama ada 95 persen, tetapi yang melakukan pemeriksaan keempat hanya 75 persen.
Menurut Iing, perlu peran suami pada perbaikan gizi pada anak dan janin serta bayi. Oleh karena itu, dibutuhkan pelatihan tidak hanya kepada istri, tetapi juga kepada suami.
Pada tahun 2018, angka stunting pada anak balita telah menurun. Berdasarkan hasil utama Riset Kesehatan Dasar 2018, anak balita yang mengalami stunting pada 2013 ada 37,2 persen. Turun menjadi 30,8 persen pada 2018. Penurunan selama lima tahun ini dibutuhkan lebih cepat ke depannya dengan tantangan yang masih cukup besar.
Tantangan percepatan penurunan stunting masih cukup besar karena proporsi berat badan lahir rendah pada bayi, kurang dari 2,5 kilogram, mengalami kenaikan tipis dari 5,7 persen pada 2013 menjadi 6,2 persen pada 2018. Selain itu, panjang badan lahir kurang dari 48 sentimeter juga mengalami kenaikan. Dari 20,2 persen pada 2013 naik menjadi 22,7 persen di 2018.
Penurunan jumlah penderita stunting juga terkendala proporsi imunisasi dasar lengkap pada anak usia 12-23 bulan yang mengalami penurunan dari 59,2 persen pada 2013 menjadi 57,9 persen tahun 2018. Sementara proporsi anak yang tidak imunisasi meningkat dari 8,7 persen pada 2013 menjadi 9,2 persen pada 2018.
Upaya
Pada Strategi Nasional 2019, untuk menurunkan jumlah penderita stunting di Indonesia, lokasi prioritas yang dulu hanya 100 kabupaten ditambah menjadi 160 kabupaten. Lokasi ini dinilai berdasarkan jumlah penderita stunting di daerah tersebut, angka kemiskinan, dan lainnya.
Sementara untuk sasaran prioritas perbaikan gizi adalah pada ibu hamil, ibu menyusui, dan anak 0-23 bulan. Untuk ibu hamil, intervensi prioritas dilakukan dengan pemberian makanan tambahan dari kelompok miskin dan suplemen penambah darah.
Untuk ibu menyusui dan anak 0-23 bulan diprioritaskan untuk diberikan promosi dan konseling menyusui, makanan bayi dan anak, serta tata laksana gizi buruk akut. Selain itu, diberikan pula makanan tambahan pemulihan bagi anak gizi kurang akut dan pemantauan pertumbuhan.
Sementara sasaran penting program ini adalah remaja dan wanita usia subur serta anak 24-59 bulan. Remaja dan wanita subur cukup diberikan suplemen tablet tambah darah. Untuk anak 24-59 buan diberikan tata laksana gizi buruk akut, makanan tambahan pemulihan bagi anak gizi kurang akut, dan pemantauan pertumbuhan.
”Semoga program itu bisa mendapatkan hasil yang optimal, setidaknya bisa mencapai penurunan stunting. Kita semua juga harus berperan agar dapat menghasilkan bangsa yang berprestasi,” kata aktivis perempuan, Zumrotin K Susilo. (SITA NURAZMI MAKHRUFAH)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.