TANGERANG SELATAN, KOMPAS – Tim Vipers Kepolisian Resor Tangerang Selatan menangkap empat remaja setelah merampok sepeda motor dari seorang anak berusia 16 tahun. Mereka ditangkap karena menjual bagian-bagian sepeda motor yang telah diurai secara daring melalui situs media sosial Facebook.
Keempat pelaku itu adalah AK (19), DRM (18), AW (16), dan TR (16). Polres Tangerang Selatan mencatat, AK dan TR tidak memiliki pekerjaan, sementara DRM adalah pelajar sekolah menengah kejuruan (SMK). Adapun AW yang masih tergolong anak tercatat sebagai buruh harian lepas.
Keempatnya dihadirkan dalam konferensi pers pada Senin (7/1/2019) yang digelar Polres Tangerang Selatan. AW dan TR mengenakan balaclava untuk menutupi wajahnya. “Dari empat tersangka, dua tergolong anak-anak. Hari Kamis (3/1/2019), mereka mendatangi korban yang sedang nongkrong di depan UPJ (Universitas Pembangunan Jaya), Sawah Baru, Ciputat, menodong dengan celurit, kemudian memaksanya agar menyerahkan barang berharga, yaitu sepeda motornya,” kata Kapolres Tangerang Selatan Ajun Komisaris Besar Ferdy Irawan.
Korban adalah RH (16), seorang pelajar yang tinggal di daerah Pondok Aren. RH pun melaporkan kemalangan yang menimpanya dibantu dua saksi, yakni OS (16) dan IS (15) pada Jumat (4/1/2019).
Kepolisian berhasil mengungkap kasus ini setelah didapati bahwa sepeda motor RH, yakni Honda Scoopy merah, dijual melalui Facebook dengan harga yang dinilai tidak wajar, yaitu Rp 1,5 juta. Menurut situs resmi hondacengkareng.com, sepeda motor tersebut dibanderol seharga Rp 18,8 juta.
Tim Cyber Polres Tangerang Selatan pun berhasil mengontak dan menemui DRM yang menjual sepeda motor keesokan harinya dengan dalih ingin membeli. Bagian-bagian sepeda motor tersebut telah dilepas sehingga menyisakan chassis di bagian depannya.
“Lha, bagaimana tidak ketahuan, mereka menjual ke polisi. Mereka langsung kami datangi, ternyata ciri-ciri (sepeda) motornya sama dengan yang diberikan pemilik. DRM tidak bisa banyak alasan, langsung kami ringkus,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Tangerang Selatan Ajun Komisaris Alexander Yurikho.
Setelah DRM ditangkap, ketiga pelaku lainnya pun ditangkap. Polisi menyita Honda Scoopy tersebut sebagai barang bukti. AK dan DRM diduga melanggar Pasal 365 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pencurian dengan Kekerasan. Mereka diancam 12 tahun kurungan.
Sementara itu, AW dan TR akan didampingi Balai Pemasyarakatan (Bapas) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan. Pengacara anak serta orang tua kedua tersangka juga akan dilibatkan.
Memunculkan kriminalitas
Bersamaan dengan rilis kasus perampokan yang melibatkan keempat tersangka, Polres Tangerang juga merilis pengungkapan dua kasus lainnya. Arohmanul Bais (26) ditangkap karena mencuri motor dengan berkedok sebagai pedagang nasi goreng keliling. Sementara itu, Ade Raihan (19) ditangkap karena memiliki senjata api rakitan tanpa izin.
Pengungkapan itu menambah panjang daftar warga dewasa muda terlibat kriminalitas sejak Desember 2018. Total 13 orang usia 18—26 tahun terlibat berbagai jenis kriminalitas, mulai dari tawuran, pembunuhan, pencurian dan perampokan, serta pornografi.
Beberapa kasus yang ditangani Polres Tangerang Selatan sejak Desemeber 2018 juga melibatkan anak. Total 14 anak berusia 13—17 tahun ditangkap karena terlibat tawuran dan pembunuhan. Beberapa di antaranya mengaku ikut karena ditekan oleh teman lainnya. Di lain pihak, dari beberapa korban luka-luka, satu orang berusia 15 tahun.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Derajad Widhyharto mengatakan, tata ruang dan desain kota dapat menjadi alasan munculnya kriminalitas. Tangerang Selatan yang baru berusia 10 tahun bukan kota yang tumbuh secara alami karena warga yang tinggal di sana, tetapi karena Jakarta yang sudah terlalu penuh (urban sprawl). Akibatnya, muncul kesenjangan antarkelas di masyarakat berdasarkan tempat tinggal.
“Tangerang Selatan itu tumbuh dengan direncanakan oleh sejumlah pengembang perumahan. Pendatang kelas menangah atas yang mengisi pertumbuhan ini, sementara masyarakat asli Tangerang Selatan semakin terpinggir karena gagal berkompetisi secara ekonomi. Akhirnya, muncul kesenjangan yang menjadi pintu masuk bagi kriminalitas,” kata Derajad.
Masyarakat yang tinggal di tanah pengembang dengan harga tinggi membentuk komunitas berpagar, terpisah dari warga asli yang tinggal di kampung kota. Warga kampung kota di daerah pinggiran seperti sekitar stasiun kereta api pun tidak memiliki akses untuk tinggal di daerah seperti Bumi Serpong Damai (BSD) dan Bintaro Jaya.
Di lain pihak, usia warga yang gagal berkompetisi ini semakin muda. Padahal, tuntutan material hidup semakin tinggi.
“Akibatnya, angka kriminalitas meningkat. Kalau mereka ingin sesuatu segera, ya, mereka akan menodongkan senjata. Tapi ini hanya dilakukan terhadap orang di sesama kelas mereka karena mereka tidak dapat menyentuh orang-orang di real estat yang pengawasannya ketat. Konteks kriminalitas pun menjadi umum,” kata dia. (Kristian Oka Prasetyadi)