Riwayat Sang Rumah Besar Sastra
Balai Pustaka lahir lebih dari satu abad lalu, sebagai alat pemerintah kolonial mengontrol bacaan rakyat. Namun, tanpa menutup mata, kehadirannya di masa lampau berjasa menambah yang melek huruf, bahkan memengaruhi perkembangan genre sastra. Kini, berstatus badan usaha milik negara, Balai Pustaka tengah berjuang untuk kembali berjaya.
Balai Pustaka lahir lebih dari satu abad lalu, sebagai alat pemerintah kolonial mengontrol bacaan rakyat. Namun, tanpa menutup mata, kehadirannya di masa lampau berjasa menambah yang melek huruf, bahkan memengaruhi perkembangan genre sastra. Kini, berstatus badan usaha milik negara, Balai Pustaka tengah berjuang untuk kembali berjaya.
Generasi 90-an atau yang lebih senior sudah hampir pasti familiar dengan buku-buku terbitan Balai Pustaka. Perjumpaan awal dengan buku-buku dari perusahaan percetakan dan penerbitan itu biasanya melalui buku paket pembelajaran di tingkat sekolah dasar.
Maklum, berdasarkan penuturan Public Relations Manager Balai Pustaka Ibnu Darudewa saat ditemui Kamis (13/12/2018), perusahaan ini dulu ditunjuk pemerintah mulai dekade 1970-an sebagai penerbit buku-buku pelajaran sekolah dasar-menengah atas.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0689/M/1990 tentang Hak Penerbitan Buku Pelajaran dan Buku Bacaan tahun 1990 meneguhkan penugasan itu. Sebagian pihak mengatakan, itu merupakan hak monopoli.
“Sekitar tahun 2004, tugas itu ditarik. Pihak swasta juga boleh menerbitkan buku sekolah,” ucap Dewa, sapaan akrab sang manajer humas. Meski demikian, tetap ada tugas terkait pendidikan yang diemban Balai Pustaka. Perusahaan ini wajib membuka taman bacaan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Targetnya, sesuai pencanangan Kementerian BUMN, seribu taman bacaan.
Di kantornya yang berlokasi di Jalan Bunga Nomor 8-8A Matraman, Jakarta Timur, jejak penugasan penerbitan buku sekolah masih terlihat. Wujudnya, patung dua anak dan seorang ibu yang berjalan ke arah kompleks Balai Pustaka, dengan anak terdepan sedang menunjuk ke gedung.
Menurut Dewa, patung tersebut bernama patung “Ayo Sekolah”. Patung dibuat tahun 1984, lebih tua dari kantor Balai Pustaka di Matraman yang berjuluk “Istana Peradaban” dan ditempati mulai 2013. Patung dipindahkan dari kantor sebelumnya di Jalan Gunung Sahari Raya Nomor 4, Jakarta Pusat.
Namun, peran Balai Pustaka tidak sesempit urusan buku pelajaran. Perusahaan ini turut mewarnai perkembangan wajah sastra Indonesia. Peran itu dimulai di era kolonial.
Awal mula
Manajer Library Heritage and Community Balai Pustaka, Huri Yani, menjelaskan, kelahiran Balai Pustaka diawali oleh berkembangnya gagasan politik etis, yang salah satunya dicetuskan mantan Asisten Residen Lebak, Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, lewat buku Max Havelaar, Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda.
Ide soal politik etis pada dasarnya adalah pemberian bantuan finansial dari pemerintah Belanda untuk peningkatan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pertanian guna memicu pertumbuhan ekonomi di pedesaan Hindia Belanda.
Dari pelaksanaan politik etis di bidang pendidikan, terdapat anak-anak bangsa dengan pendidikan Barat yang menyuarakan nasionalisme dan antipenjajahan. Salah satunya, organisasi Boedi Oetomo yang berdiri tahun 1908.
Namun, sebenarnya, jauh sebelum Boedi Oetomo, semangat merdeka sudah disuarakan pribumi, orang Cina peranakan, serta Eropa peranakan lewat beragam media cetak. Karya sastra Cina peranakan, misalnya, sudah beredar sejak abad 19, ditulis dalam bahasa Melayu Tionghoa dan Melayu Pasar atau disebut juga bahasa melayu rendah.
“Pemerintah di Hindia Belanda tidak menyukai penerbitan tulisan yang beredar luas itu,” ujar Yenny, sapaan Huri Yani.
Tulisan-tulisan tersebut dicap sebagai bacaan liar, tidak layak untuk bacaan rakyat Hindia Belanda. Namun, tentu alasan sesungguhnya adalah bertentangan dengan politik penjajah, meski memang bahasa yang digunakan belum memenuhi kualitas.
Kondisi itu mendorong pemerintah Hindia Belanda membentuk Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat pada 14 September 1908. Dasarnya, Keputusan Departement van Onderwijs en Eeredients Nomor 12. Komisi ini terdiri dari enam orang dengan diketuai Penasihat untuk Urusan-urusan Pribumi GAJ Hazeu, bertugas memilih bahan bacaan yang “sesuai” untuk rakyat Hindia Belanda, selain memberi saran dan pertimbangan ke Direktur Pendidikan. Dengan cara demikian, pemerintah kolonial mencegah masyarakat terpapar bacaan terbitan kaum “agitator”.
Komisi Bacaan Rakyat awalnya hanya menerbitkan cerita rakyat, dongeng, dan hikayat yang dilengkapi dengan gambar memikat, bacaan-bacaan ringan guna merangsang dan memelihara minat baca. Setelah itu, terbit karya-karya sastra terjemahan yang diadaptasi dari novel berbahasa Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, serta sejumlah buku berbahasa Arab.
Aktivitas komisi berlanjut dengan penerbitan karya-karya sastra dari penulis lokal dengan gaya tulisan Barat. Pendapat Mikihiro Moriyama dalam tulisan Jasa Balai Pustaka dalam Pembentukan Literasi pada Abad Ke-20: Suatu Tinjauan dari Penerbitan Buku-buku Berbahasa Sunda, Balai Pustaka memodernisasi kesastraan Sunda.
Itu bisa dilihat dari novel Sunda terbitan Komisi Bacaan Rakyat di tahun 1914 yang berjudul Baroeang Ka Noe Ngarora (Racun bagi Para Muda). Latar ceritanya individual, berbeda dari bagian awal tulisan-tulisan tradisional yang biasanya berbunyi,”Pada suatu masa, ada suatu kerajaan”.
Pemerintah Hindia Belanda memandang Komisi Bacaan Rakyat gemilang. Karena jumlah penerbitan yang direncanakan makin besar dan kebutuhan sumber daya manusia meningkat, penjajah mengeluarkan Keputusan Nomor 63 tanggal 22 September 1917 tentang pembentukan Kantoor voor de Volkslectuur. Dengan keputusan itu, Komisi Bacaan Rakyat berganti nama menjadi Balai Pustaka, sebuah institusi tersendiri yang mengemban peran lebih besar. Pemimpin pertamanya, DA Rinkes.
Lokasi
Nama Balai Poestaka (Balai Pustaka) pun kemudian senantiasa tersemat di halaman sampul terbitan-terbitan lembaga itu. Ada pula keterangan tempat yang tercantum di halaman sampul, yakni Weltevreden. Pada masa itu, Weltevreden merupakan semacam Batavia kedua, pusat pemerintahan yang baru dari penjajah Hindia Belanda.
Hilmar Farid dalam tulisan Kolonialisme dan Budaya: Balai Pustaka di Hindia Belanda, majalah Prisma Oktober 1991, menyebutkan, pemerintah penjajah di bawah Gubernur Jenderal Daendels membentuk Landsdrukkerij pada 22 November 1809, yang berasal dari penggabungan percetakan swasta dan negara. Lembaga cikal bakal Percetakan Negara ini bertempat di Weltevreden, yang kelak jadi kantor Balai Pustaka.
Saat ini, Weltvreden sudah menjadi kawasan Lapangan Banteng dan sekitarnya di Jakarta Pusat. Berjalan 350 meter ke arah timur dari Lapangan Banteng, menyusuri Jalan Dr Wahidin Raya, terdapat gedung tinggi yang menjadi kantor Otoritas Jasa Keuangan. Tempat itu dulu beralamat di Jalan Dr Wahidin Nomor 1. Inilah lokasi awal kantor Balai Pustaka.
Dari buku 80 Tahun Balai Pustaka Menjelajah Nusantara, bisa diketahui bahwa Balai Pustaka berkantor di Jalan Dr Wahidin sejak 1921. Kompleks kantor itu seluas 11.115 meter persegi dan memiliki dua bangunan tua. Bangunan di bagian depan yang berlantai tiga merupakan bekas perpustakaan DPR, dibangun sekitar tahun 1950. Bangunan di belakangnya adalah gedung kuno yang konon awalnya kandang kuda Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1900-an.
Yenny mengatakan, sebuah korporasi tentu memiliki fase naik dan turun. Pada suatu ketika, Balai Pustaka amat butuh dana dan melakukan tukar guling dengan Kementerian Keuangan. Balai Pustaka pun mendapat kompensasi dana, tetapi harus berpindah ke eks Kompleks Siliwangi di Jalan Gunung Sahari Raya mulai 1992. Gedung di Jalan Dr Wahidin No 1 pun jadi milik Kemenkeu.
Tanah dan bangunan di Jalan Gunung Sahari Raya kemudian juga berpindah kepemilikan ke Kemenkeu, sehingga pada 2010 operasional Balai Pustaka beralih ke Percetakan Unit I di Jalan Pulau Kambing, Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur.
Di tahun 2013, operasional Balai Pustaka lagi-lagi berpindah, kali ini ke Jalan Bunga. Lokasi inilah yang digunakan sebagai markas hingga sekarang.
Rumah besar
Balai Pustaka pernah amat termasyur sebagai kandangnya sastrawan-sastrawan ternama. Karya-karya monumental yang diterbitkannya antara lain Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Sitti Nurbaya oleh Marah Rusli, dan Salah Asuhan oleh Abdul Muis.
Kejayaan itu sekarang sedang tidak dinikmati Balai Pustaka. Nama-nama penulis tersohor masa kini lebih banyak ditemukan pada terbitan perusahaan-perusahaan lain.
Namun, Balai Pustaka menolak mati. Perusahaan ini menghidupkan Sanggar Sastra, yaitu program pelatihan seni secara gratis dalam enam kali pertemuan di Istana Peradaban. Kegiatannya berteater, musikalisasi puisi, pembacaan puisi, apresiasi sastra, dan menulis. Mentor bakal menentukan masing-masing peserta cocok di bidang apa. “Peserta dari segala umur, ada yang anak SMP, ada juga dosen,” ujar Yenny.
Salah satu tujuan Sanggar Sastra adalah menelurkan penulis-penulis unggul yang akan menggeliatkan lagi Balai Pustaka di bidang sastra. “Jika ada yang menghasilkan karya yang baik, diterbitkan Balai Pustaka, otomatis perusahaan ini juga untung,” kata Dewa.
Selamat berjuang untuk kembali menjadi rumah besar sastra.