PANDEGLANG, KOMPAS - Tempat evakuasi sementara atau shelter bagi penyintas bencana tsunami di Kecamatan Labuan, Pandeglang, Banten, mendesak dioperasikan. Warga setempat masih kebingungan untuk mencari tempat pengungsian jika sewaktu-waktu terjadi tsunami susulan. Pemerintah daerah berencana segera membenahi.
Samsuri (27), pedagang makanan di depan shelter tsunami, mengakui, warga sekitar sempat naik ke shelter saat tsunami Selat Sunda menerjang pesisir Banten, Sabtu (22/12/2018) malam. Namun, mereka akhirnya urung mengungsi di shelter tersebut karena gelap dan tidak ada air bersih.
Samsuri yang juga terdampak tsunami akhirnya bersama warga memilih mengungsi ke posko pengungsian di lapangan futsal Desa Rancateureup, Labuan.
“Di (shelter) sini memang tidak layak. Tidak ada penerangan, kotor, dan toiletnya juga tidak ada air,” kata Samsuri, yang merupakan warga Labuan.
Samsuri berharap, shelter tsunami itu dapat segera difungsikan karena dibutuhkan warga. Dia khawatir jika sewaktu-waktu terjadi tsunami susulan. Selain dapat dipakai saat tsunami, shelter itu juga dapat digunakan tempat mengungsi warga yang rumahnya terendam banjir tahunan akibat meluapnya Sungai Cipunten Agung.
Agosiman (60), warga Desa Cigondang, Kecamatan Labuan, juga berharap shelter tsunami segera beroperasi karena khawatir adanya potensi tsunami susulan. Dia tak ingin kebingungan untuk mencari tempat berlindung seperti saat tsunami Selat Sunda menerjang dua pekan silam.
Berdasarkan pantauan, Minggu (6/1/12019), shelter tsunami tiga lantai tersebut saat ini dalam kondisi mangkrak. Lantai atas belum memiliki atap. Tembok gedung dalam kondisi kumuh dan penuh coretan cat semprot. Bagian bawah gedung yang dibiarkan kosong dijadikan tempat parkir angkutan kota.
Akibat dikorupsi
Shelter tsunami tersebut berada sekitar 1 kilometer dari garis pantai. Gedung seluas 2.456 meter persegi dengan tinggi sekitar 100 meter itu dibangun pada 2014. Namun, proyek senilai Rp 18 miliar ini terhenti karena terkait kasus korupsi.
Kasus korupsi shelter tsunami yang ditangani Kepolisian Daerah Banten tersebutmenyeret tiga terdakwa, yakni Ahmad Gunawan, Takwin Ali Muchtar, dan Wiarso Joko Pranolo. Gunawan adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Takwin adalah Direktur PT Tidar Sejahtera, selaku konteraktor shelter, dan Joko adalah Project Manager PT Tidar Sejahtera.
Humas Pengadilan Negeri (PN) Serang, Banten, Efiyanto mengatakan, ketiga terdakwa dijatuhi pidana penjara yang sama, yaitu satu tahun dan tiga bulan, serta membayar denda sebesar Rp 50 juta di PN Serang pertengahan 2018. Selain itu, Takwin diharuskan membayar uang pengganti Rp 4,71 miliar sedangkan Gunawan harus membayar Rp 500 juta.
Efiyanto menambahkan, Takwin dan Joko telah melakukan atau turut serta membuat bangunan tidak berfungsi dengan baik. Sementara, Gunawan menyetujui permintaan pembayaran terhadap bangunan yang tidak berfungsi dengan baik dan tidak mengendalikan pelaksanaan kontrak.
Persetujuan tersebut bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Gunawan dianggap memperkaya diri dengan nilai Rp 500 juta dan Takwin sebesar Rp 15,57 miliar. Mereka telah merugikan negara dengan nilai Rp 16,07 miliar. Bangunan tersebut juga tak sesuai ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi.
Setelah pembangunannya terhenti pada 2016, shelter itu tak lagi terurus. Bahkan, menurut Samsuri, shelter tsunami tersebut lebih sering dipakai tempat berkumpul anak-anak muda. Sebagian membawa minuman beralkohol.
“Malah ada yang pernah kepergok berbuat mesum,” ucap Samsuri. Padahal, shelter ini berjarak 50 meter dari Kepolisian Sektor Labuan.
Bupati Pandeglang Irna Narulita mengakui, shelter tersebut semestinya dapat digunakan penyintas tsunami untuk mengungsi. Namun, diperlukan sejumlah perbaikan pada gedung tersebut termasuk penerangan dan instalasi air bersih."Saya berencana akan bersurat kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk renovasi," ujar Irna, di Pandeglang.
Irna mengatakan, shelter tersebut sudah dapat digunakan untuk sementara, tetapi perlu ada pelatihan lebih lanjut dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Pandeglang akan memperkenalkan cara menggunakan shelter tersebut kepada masyarakat.
Selain itu, Irna berencana mengecat ulang gedung shelter itu dan menjadikannya sebagai salah satu destinasi wisata di Pandeglang. Pemkab Pandeglang juga akan menampilkan gambar peristiwa tsunami pada 22 Desember 2018 sebagai bahan pembelajaran.
Pemkab Pandeglang juga akan menghimpun pedagang agar berjualan di sekitar shelter, sehingga dapat menarik perhatian masyarakat. Dengan cara itu, Irna berharap masyarakat dapat mengenal shelter sebagai tempat evakuasi saat terjadi bencana tsunami.
Direktur Perbaikan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Medi Herlianto menyebutkan, shelter tsunami tersebut mampu menampung sekitar 3.000 penyintas dalam posisi berdiri di dua lantai teratas bangunan.
Jika bangunan shelter itu berfungsi optimal, penyintas bencana di sekitar Kecamatan Labuan tidak perlu tersebar di banyak titik untuk mengungsi. Namun, kata Medi, shelter bukan satu-satunya penyelamat saat bencana tsunami jika masyarakat setempat tidak diedukasi dan alat peringatan dini juga tidak berfungsi.
Kesiapsiagaan
Kepala Bidang Kesiapsiagaan dan Pencegahan Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banten M Juhriyadi mengatakan, fasilitas shelter tsunami yang dibangun di Banten ada di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang dan Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak.
Namun, wilayah yang dilanda tsunami di Pandeglang pada 22 Desember 2018 cukup banyak seperti Kecamatan Sumur, Panimbang, Labuan, dan Carita. Shelter di Labuan tentu jauh dari jangkauan masyarakat di kecamatan lain.
“Bahkan, Kecamatan Cinangka di Kabupaten Serang juga dilanda tsunami. Masa, masyarakat mau lari ke shelter itu, apalagi dari Kecamatan Sumur yang berjarak 60 kilometer lebih,” katanya. Kewenangan atas shelter itu berada di tangan Pemkab Pandeglang.