Akrobat Politik dan Insiden Migran di Inggris
Liburan natal 2018 dan tahun baru 2019 tak bisa menghentikan tensi politik di Inggris. Setelah kabinet Theresa May dan Parlemen mengambil libur akhir tahun dan “break” membicarakan Brexit, giliran isu migran digunakan para politisi untuk mencari panggung.
Kisahnya dimulai saat Sajid Javid, menteri dalam negeri Inggris, menyatakan bahwa telah terjadi “insiden besar” terkait migran. Pernyataan tersebut muncul setelah penjaga perbatasan Inggris di Selat Inggris (English Channel) memergoki usaha penerobosan para migran dari wilayah Perancis, kebanyakan migran Iran, selama liburan natal 2018.
Menerima laporan tersebut, Javid segera pulang dari liburan mewahnya di Afrika Selatan dan berusaha mengendalikan situasi yang ia nyatakan sebagai “insiden besar”. Pernyataannya tentang “insiden besar” itulah yang memunculkan perang komentar dari para politisi yang sebenarnya sedang menikmati liburan akhir tahun dari 20 Desember 2018 – 7 Januari 2019 untuk Parlemen dan sampai 1 Januari 2019 untuk kabinet May.
Beberapa media massa di Inggris, seperti Daily Mail, pun mengikuti irama Sajid Javid dan menurunkan berita utama yang menekankan bahwa sedang terjadi krisis migran di Channel. Akan tetapi, kebanyakan media di Inggris berusaha lebih imbang terhadap insiden tersebut dengan mengangkat aksi kritik Parlemen terhadap sang menteri pertahanan Inggris sebagai menu utama mereka seminggu penuh. Sekurangnya terdapat tiga kritik terhadap kebijakan Javid yang muncul di media masa Inggris.
Mengada-ada
Pertama, kritik dialamatkan kepada tindakan Javid yang meninggalkan liburan mewahnya untuk langsung mengambil komando terhadap eskalasi migran di Channel.
Sebenarnya, yang dilakukan oleh Javid merupakan hal yang lumrah. Ia memenuhi tanggung jawabnya sebagai menteri dalam negeri. Sebagai menteri dalam negeri, ayah empat anak ini bertanggung jawab terhadap persoalan imigrasi, keamanan, dan usaha penanggulangan terorisme di Inggris.
Alih-alih mendapatkan apresiasi, tindakannya malah menuai kritik. Javid menyatakan bahwa eskalasi masuknya migran ke Inggris melalui Channel adalah suatu “insiden besar”. Sepanjang November-Desember 2018, tercatat lebih dari 200 migran mencoba masuk ke Inggris melalui Channel.
Mereka yang mengkritik Javid mencoba membandingkan jumlah migran yang masuk ke Inggris selama dua bulan itu dengan situasi serupa di negara Eropa lain. Jumlah 200 migran yang mencoba masuk ke Inggris dalam kurun waktu dua bulan itu sangat kecil apabila dibandingkan dengan ribuan migran yang masuk ke Yunani dalam satu hari.
Selain itu, jumlah migran yang telah sampai ke Inggris pada periode 2016-2017 diperkirakan sebanyak 2.366 orang. Jumlah tersebut diperkirakan turun menjadi 1.832 pada periode 2017-2018.
Oleh karena itu, the Guardian menganggap Javid mengada-ada. Klaim Javid bahwa eskalasi masuknya migran melalui Channel sebagai sebuah insiden besar, bahkan disebut sebagai krisis migran di Inggris, dianggap sebagai dongeng politik yang munafik.
Kebijakan Lemah
Kritik kedua ditujukan kepada kebijakan Javid yang berubah-ubah.
Langkah pertama Javid saat kembali dari liburannya adalah mencoba berkoordinasi dengan pejabat tinggi Perancis untuk meningkatkan patroli di Selat Inggris. Kedua negara lantas sepakat untuk mencegah para migran yang menerobos masuk ke Inggris.
Selama ini, Selat Inggris menjadi tanggung jawab dua negara dalam kegiatan SAR. Mengikuti hukum laut 12 mil dari pantai, sebagian perairan di Selat Inggris berada di bawah Inggris, sebagian di Perancis, dan sebagian lagi masuk ke perairan internasional. Migran yang diamankan di wilayah Inggris akan dibawa ke Inggris, yang masih berada di wilayah Perancis akan dikembalikan ke Perancis, dan yang ditemukan di perairan internasional akan dibawa ke tempat yang aman.
Pada 31 Desember 2018, Sajid Javid juga mengadakan pembicaraan formal dengan pemerintah Perancis untuk menekan organisasi kriminal yang menyelundupkan manusia ke Inggris. Ia juga mengadakan pembicaraan dengan pejabat senior dan dinas penjaga perbatasan dan National Crime Agency (NCA).
Kepada publik Inggris, Javid berjanji untuk mengembalikan para migran yang diamankan di Selat Inggris kembali ke Perancis. Langkah tersebut dianggap belum cukup. Beberapa anggota Parlemen meminta Javid mengurangi jumlah migran dengan mencegah migran masuk ke Inggris lewat Channel melalui tindakan yang lebih tegas.
Para politisi was-was, eskalasi penyeberangan migran melalui Selat Inggris akan mengakibatkan bencana kemanusiaan seperti yang terjadi di Laut Mediterania. Sejumlah 17.700 pencari suaka meninggal saat berusaha masuk Eropa sejak 2014.
Bersamaan dengan itu juga, The Daily Telegraph memberitakan “Javid Reject Navy Patrols As Migrant Crisi Grows“ saat Javid menolak tawaran bantuan Menteri Pertahanan Inggris, Gavin Williamson. Menhan menawarkan bantuan kapal dari angkatan laut untuk meningkatkan patroli di Selat Inggris.
Setelah mendapat kritik dari anggota Parlemen dari partainya, Konservatif, Javid segera mengeluarkan kebijakan yang lebih tegas. Javid menegaskan perlunya menjaga keseimbangan antara menjaga para migran dan mencegah semakin banyak orang mencoba masuk melalui jalur laut sambil menjaga wilayah perbatasan.
Ia menarik pulang dua kapal patroli cepat, cutter, Her Majesty’s Cutter (HMC) Seeker dan HMC Protector, yang sedang bertugas di Laut Mediterania. Kedua kapal tersebut bertugas di Laut Mediterania sebagai bagian dari kerja sama patroli perbatasan Uni Eropa, Frontex.
Selama ini, hanya terdapat satu cutter yang bertugas di Channel. Satu kapal patroli cepat yang selama ini berpatroli di Channel ini dianggap gagal mengatasi penyelundupan manusia ke Inggris.
Selain itu, sambil menunggu datangnya kedua kapal tersebut, pada 1 Januari 2019 Javid pun menjilat ludah dan meminta bantuan dari Menteri Pertahanan Gavin Williamson. Javid meminta dukungan kapal Angkatan Laut Kerajaan untuk membantu mengatasi eskalasi migran di Channel.
Kapal patroli Angkatan Laut Kerajaan Her Majesty’s Ship (HMS) Mersey akan berangkat dari Porstmouth pada 2 Januari 2019 menuju pantai Kent. Kapal yang biasa digunakan untuk patroli penangkap ikan di perairan Inggris dan Atlantik tersebut akan didukung oleh Angkatan Udara Kerajaan untuk pengamatan udara saat berpatroli di Channel.
Menteri dalam negeri berdalih bahwa perubahan keputusannya bertujuan untuk melindungi wilayah perbatasan Inggris dan mencegah hilangnya nyawa di Channel.
Para pengkritik menilai tindakan Javid memalukan karena ia baru mengubah kebijakannya yang dianggap lemah itu setelah mendapat tekanan dari Parlemen.
Status Pencari Suaka
Kritik ketiga ditujukan kepada komentar Javid terhadap para migran yang mencoba masuk Inggris dari Perancis.
Pada 1 Januari 2019, Javid mempertanyakan status pencari suaka para migran yang mencoba masuk Inggris. Bagi Javid, mereka yang benar-benar mencari suaka tentunya akan bertahan di negara yang dianggap aman sambil menunggu status pengungsi dari negara yang dituju.
Perancis, seperti kebanyakan negara Eropa lain, dianggap sebagai negara yang aman bagi para pencari suaka. Oleh karena itu, ketika banyak pencari suaka yang telah berada di Perancis mencoba menerobos Channel menuju Inggris, Javid mempertanyakan status mereka.
Javid menengarai bahwa mereka yang berusaha menerobos masuk Inggris merupakan para migran ekonomi, yakni migran yang ingin pindah ke negara lain karena ingin mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Hal ini berbeda dengan definisi pengungsi sesuai perjanjian tahun 1951.
Yang disebut sebagai pengungsi adalah mereka yang terpaksa meninggalkan negara asalnya dan tak dapat pulang karena takut dikejar-kejar karena persoalan ras, agama, kebangsaan, maupun keanggotaan atas kelompok sosial maupun karena opini mereka. Tidak semua pencari suaka akan mendapatkan status pengungsi. Akan tetapi, setiap pengungsi pada awalnya merupakan pencari suaka.
Surat kabar seperti Mirror dan the Guardian mengkritik pendapat Javid dengan mengutip pendapat para aktivis pembela pengungsi. Komentar Javid dianggap tidak layak keluar dari mulut seorang pejabat setingkat Javid.
Menurut para pembela hak-hak pengungsi, mereka yang berani untuk mempertaruhkan nyawanya di laut dengan menumpang perahu kecil adalah benar-benar orang yang telah putus asa. Mereka menunjukkan bukti bahwa para pencari suaka yang tinggal di Perancis juga sedang mengalami situasi yang tidak mengenakkan pada awal Desember 2018.
Para aktivis mengkritik pendapat Javid sambil memperlihatkan bahwa banyak pencari suaka yang akhirnya mendapat status pengungsi di Inggris. Hal itu membuktikan bahwa mereka yang mempertaruhkan nyawa masuk ke Inggris sebagian besar benar-benar merupakan pengungsi.
Pada 2017, terdapat 26.350 permohonan suaka yang ditujukan ke Inggris. Sampai tahun 2018 terdapat 21.290 putusan terhadap pencari suaka yang diberi status pengungsi. Walaupun jumlah ini cukup kecil dibandingkan dengan Jerman (198.255), Italia (126.550), maupun Perancis (91.070), tetapi menunjukkan bahwa para migran ini benar-benar pencari suaka yang terpaksa harus meninggalkan negerinya karena perang maupun intimidasi.
Bukan Loyalis May
Eskalasi migran yang berusaha masuk Inggris melalui Channel merupakan fakta yang tak terbantahkan, tetapi ternyata jumlahnya jauh lebih kecil dari gelombang migran yang masuk ke negara Eropa lain sejak 2015. Oleh karena itu, sulit memahami bahwa persoalan migran menjadi suatu krisis di Inggris.
Persoalan tersebut lebih dapat dipahami dengan mendudukkan pada situasi umum pemerintahan May yang sedang di ujung tanduk. Dengan lemahnya posisi May di hadapan Parlemen, tindakan Javid dapat ditangkap sebagai sebuah usaha untuk mengamankan posisinya sekaligus memantabkan peluang maju sebagai calon perdana menteri. Surat kabar the i news menilai bahwa pulangnya Javid dari cuti natalnya menunjukkan upaya untuk menyelamatkan diri dari para pengkritiknya, terutama dari Parlemen.
Dugaan bahwa Javid sedang berupaya mengerek posisi dapat ditarik mundur pada awal Desember 2018. Surat kabar the Telegraph mengingatkan bahwa Javid sempat berselisih dengan Theresa May menyangkut kebijakan imigrasi. PM May konsisten dengan kebijakan imigrasi yang disampaikan saat ia mulai menjabat pada 2016, yakni menurunkan jumlah imigran di Inggris di bawah angka 100.000.
Sebagai pejabat yang berwenang dalam mengatur imigran, Javid tidak sepenuhnya setuju dengan janji May tersebut. Javid setuju untuk menurunkan jumlah imigran, tetapi tidak setuju dengan penggunaan parameter angka. Menurutnya, migran yang masuk ke Inggris pun berkesempatan untuk memberikan kontribusi besar bagi Inggris. Sebagai migran Pakistan generasi kedua, ia mencontohkan keluarganya yang dapat berkontribusi kepada Inggris. Javid menyatakan bahwa sistemlah yang akan mengurangi migrasi turun ke jumlah yang lebih berkelanjutan.
Sikap Javid sebagai menteri di kabinet May ditangkap oleh para komentator sebagai sikap yang mendua. Di satu sisi, sebagai menteri mendukung May, tetapi di pihak lain, sebagai politisi ia bukanlah loyalis May.
Sikap semacam itu disinyalir juga meluas di antara kabinet May. Oleh karena itu, tak jarang muncul perbedaan pendapat yang berakhir dengan pengunduran diri. Tak kebetulan, mereka yang berselisih dan akhirnya mengundurkan diri tersebut juga kemudian menjadi kandidat pengganti May dari partai Konservatif, seperti Dominic Raab dan Boris Johnson. Di dalam kabinet May sendiri, selain Sajid David, muncul nama-nama kandidat pengganti May, yakni Amber Rudd, Jeremy Hunt, Michael Gove, serta Penny Mordaunt.
Dalam situasi tersebut, lebih mudah menyatakan bahwa pemerintah Inggris-lah yang sedang mengalami krisis, bukannya isu migran. Krisis di pemerintahan Inggris jauh lebih besar daripada krisis yang mungkin disebabkan oleh kedatangan migran melalui Channel.
Jualan Politik
Para politisi yang mengambil kesempatan dengan eskalasi migran di Selat Inggris bukan hanya berasal dari dalam kabinet May. Para anggota Parlemen, entah dari partai Konservatif maupun dari oposisi juga menggunakannya sebagai jualan politik. Isu tersebut digunakan sebagai bahan untuk mengkritik pemerintah yang sedang dalam posisi lemah karena dianggap gagal dalam bernegosiasi dengan Uni Eropa terkait Brexit.
Sebagai isu regional dan juga global, migran yang masuk ke Eropa menjadi polemik dan jualan politik yang laris di berbagai negara Eropa, terutama bagi kalangan nasionalis. Partai-partai berhaluan nasionalis sayap kanan di Eropa memanfaatkan krisis migran di Eropa menjadi isu utama dalam kampanye mereka.
Keberhasilan mereka tampak dari peningkatan perolehan suara partai-partai nasionalis di Eropa sejak gelombang besar migran masuk Eropa pada 2015. Contoh yang paling mencolok adalah Partai Rakyat Denmark yang berhasil menjadi kekuatan nomor dua di Denmark sehingga Denmark memberlakukan peraturan imigrasi paling ketat di Eropa. Sangat ketatnya hingga para pengungsi di negara tersebut harus menyerahkan properti mereka untuk membayar biaya tinggal dan mengikuti kebijakan kontrasepsi agar perkembangan imigran lebih terkontrol.
Penggunaan isu migran untuk mendulang suara tampaknya sedang dijajagi oleh para politisi Inggris. Mereka ingin ikut menikmati kebangkitan nasionalisme di Eropa. Akan tetapi, isu tersebut tampaknya tak akan bertahan lama mengingat Inggris sedang menghadapi krisis yang lebih besar dan mendesak. Tenggat waktu Brexit, 29 Maret 2019, sudah di depan mata, sedangkan Parlemen tampaknya tidak berkenan dengan hasil kesepakatan yang telah dibuat oleh pemerintah dengan Uni Eropa.
Isu migran yang menjadi krisis Eropa sejak 2015 tampaknya tak begitu mengganggu Inggris. Terbukti, Inggris hanya memiliki lima cutter untuk menjaga wilayah pantai perbatasannya sepanjang 7.723 mil. Jumlah kapal patroli cepat tersebut sangat sedikit dibandingkan Italia yang memiliki 600 cutters untuk mengawasi pantai perbatasan sepanjang 4.722 mil.
Oleh karena itu, ungkapan bahwa telah terjadi krisis migran di Channel merupakan gorengan politik untuk menghangatkan liburan akhir tahun semata. Mengikuti pendapat kolumnis Newstateman, Stephen Bush, seluruh pertentangan seputar krisis migran di Channel sangat mudah dilihat sebagai akrobat politik. Para politisi sedang unjuk gigi dalam krisis pemerintahan May yang sedang di ujung tanduk. (LITBANG KOMPAS)