Batik Ciwaringin, Warisan Kaum Santri
Batik Cirebon selalu identik dengan motif Mega Mendung, Paksi Naga Liman, Patran Keris, Singa Payung, dan Singa Barong yang berasal dari lingkungan keraton. Motif khas lain adalah Ganggeng, Taman Laut, dan Piring Selampad. Uniknya, saat Kompas ke sentra industri batik rumahan Ciwaringin di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (7/1/2019), motif-motif tersebut tidak dijumpai di sana.
Ini karena motif batik yang berkembang di Ciwaringin lebih banyak dipengaruhi kehidupan kaum santri, seperti diungkapkan pasangan suami istri pembatik, Hasanudin Abdul Kohar (47) dan Nur Halifah Abdul Ajiz (46).
Kecamatan Ciwaringin terdiri dari delapan desa. Dua di antaranya adalah Desa Babakan, dan Desa Ciwaringin. Desa Babakan tumbuh menjadi “gudangnya” pesantren. Saat ini, ada 33 pesantren di Desa Babakan. Sedangkan Desa Ciwaringin, tepatnya di lingkungan RT 5, 6, dan 7 di RW 5, tumbuh menjadi kawasan industri rumahan batik.
Syahdan, di era pemerintahan kolonial Belanda, warga Kecamatan Ciwaringin dikepung kemiskinan dan kelaparan. Agar bertahan hidup, kalangan santri melatih warga membuat dan menjual batik.
“Sore menjelang malam, setelah para santri selesai belajar agama, mereka datang ke desa-desa di lingkungan Kecamatan Ciwaringin, melatih warga membatik,” tutur Hasanudin Abdul Kohar yang akrab di sapa Hasan, di rumah batik “Risma.
Dalam perkembangannya, hanya Desa Ciwaringin yang tumbuh sebagai kampung batik. Dari situ berkembang berbagai motif yang merujuk pada warisan kalangan santri. Salah satunya, motif Pecutan. Gagasan motif ini berasal dari tangkai dan dedaunan yang digunakan para pengajar di pondok pesantren untuk “mencambuk” dan memberi semangat para santrinya agar lebih giat belajar ilmu agama. Sementara, jejak kemiskinan dan kelaparan warga Ciwaringin dituangkan ke dalam motif Tebu Sekeret. Motif ini menggambarkan daya hidup warga yang saat lapar menyesap potongan batang tebu.
Serupa dengan motif Tebu Sekeret adalah motif Sapu Jagat dari JawaTengah yang distilisasi dan disebut motif Ganepo. Warga Ciwaringin menyebutnya Ganepo karena kepanjangan dari kalimat berbahasa Cirebon, segane langka, tenagane lempo (nasi habis, tenaga lemah).
Pemerhati Kesenian dan Kebudayaan dari Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU), H Uki Marzuki membenarkan bahwa batik Ciwaringin tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren. Sejumlah motif batik yang muncul dari lingkungan ini adalah motif Tebu Sekeret, Pring Sedapur, dan Laseman (langgam batik Lasem).
Penggagas utama tradisi membatik adalah Kyai Haji Mohammad Amin yang lebih dikenal sebagai Kyai Madamin, dari Pondok Pesantren Babakan. Sekembalinya dari menuntut ilmu agama di Lasem, Jawa Tengah, ia bersama isterinya, Nyai Kaltsum, melatih para santri membatik. Selanjutnya, para santri ganti melatih warga Kecamatan Ciwaringin.
Pengaruh batik Lasem terasa dalam corak Batik Ciwaringin. Batik Ciwaringin juga dipengaruhi oleh batik Madura, seperti tampak pada motif Bang Biron Dlorong (garis-garis diagonal merah dan biru dengan motif bunga). Selain itu, terlihat pula pengaruh batik Indramayu, seperti pada motif Kapal Kandas yang distilir menjadi susunan segitiga.
Peran Nyai Kaltsum dalam pengembangan batik Ciwaringin sulit diabaikan, seperti ditulis Upi dalam Diskusi Paralel Kongres Ulama Perempuan Indonesia di Babakan yang berlangsung Maret 2017. Nyai Kaltsum adalah putri pasangan Kyai Haji Abdul Fannan dan Nyai Khodijah. Perempuan ulama ini juga cucu Kyai Adzroi, salah satu ulama Pesantren Babakan.
Ketrampilan Nyai Kaltsum membatik diperoleh dari ibundanya, yakni Nyai Khodijah dari Desa Karang Tengah, Plered Cirebon serta dari neneknya, Nyai Murtaja yang berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah.
Di tengah semangat Nyai Kaltsum memberdayakan para santri dan warga, Kyai Madamin mengingatkan sang istri bahwa tugas utama santri adalah menyelesaikan ilmu agama dan bukan menjadi perajin batik. Oleh karena itu, industri batik rumahan Ciwaringin kemudian lebih banyak dikembangkan oleh warga dan bukan santri. “Sampai sekarang, para istri ulama dan perempuan ulama menjadi pelanggan tetap kami,” ujar Hasan.
Surut dan suram
Proses pewarnaan batik di Ciwaringin pada mulanya menggunakan bahan-bahan alami dan bukan pewarna kimia atau sintetis. Namun pada tahun 1970-an, pewarna sintetis dari India dan Cina membanjiri industri rumahan batik di Ciwaringin. "Batik Ciwaringin kehilangan keistimewaannya lalu surut di tengah persaingan dengan sentra batik lain,” tutur Hasan.
Ia menjelaskan salah satu keistimewaan itu, yakni warna coklat tua batik tulis Ciwaringin yang diperoleh dari getah kulit pohon mahoni. Sedangkan warna biru dari daun indigo. Jika keduanya dicampur akan menghasilkan warna hitam kumal. Sedangkan, untuk warna coklat cerah berasal dari kulit buah jengkol, warna krem dari getah kulit pohon mangga, dan warna abu kehijauan berasal dari kulit rambutan atau sabut kelapa.
Di awal 1990-an, industri batik rumahan Ciwaringin kian surut, kalah bersaing dengan batik printing yang harganya lebih murah. Sampai akhirnya terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Warga mulai berbondong-bondong menjadi pekerja migran di Timur Tengah. Tahun 2000, jumlah pembatik tulis yang masih aktif hanya tinggal 10 orang
“Saya termasuk yang ikut jadi pekerja migran di Mekkah selama 11 tahun. Istri saya juga bekerja di sana 1,5 tahun,” ungkap Hasan.
Meski secara ekonomi warga diuntungkan tetapi secara sosial mereka lebih rapuh. Kasus perceraian, perselingkuhan, dan lahirnya anak-anak di luar nikah merebak. Sampai akhirnya di tahun 2009, Dinas Koperasi Kabupaten Cirebon berinisiatif menghidupkan kembali batik tulis Ciwaringin. Setelah itu muncul tren gamis batik Ciwaringin yang digemari kaum perempuan. Perkembangan ini membuat industri rumahan batik Ciwaringin kembali berpamor.
Dinas kemudian menggandeng PT Indocement Tunggal Perkasa yang bersedia mengucurkan dana pinjaman tanpa bunga untuk lima perajin handal. Masing-masing mendapat pinjaman Rp 10 juta. “Untuk perajin lain masing-masing mendapat Rp 2 juta. Saya kebagian pinjaman yang Rp 10 juta,” kenang Hasan.
Lewat dana CSR (corporate social responsibility), Indocement juga membiayai para perajin mengikuti sejumlah pameran. Perusahaan ini juga membiayai pelatihan-pelatihan dan studi banding ke Surabaya, Jakarta, Bali, dan Semarang selama tahun 2013 – 2016. “Yang ikut hanya 70 perajin. Sisanya tidak bisa ikut karena sudah sepuh,” ujar Hasan.
Kembali cerah
Dua tahun setelah masa surut nan suram, industri rumahan batik Ciwaringin kembali cerah. Pada tahun 2012, industri rumahan batik ini mencapai puncaknya setelah satu stasiun televisi swasta menayangkan tentang batik Ciwaringin, diikuti media massa lainnya.
“Rumah batik saya bisa melepas 80 potong batik tulis dengan harga lebih mahal sepanjang tahun itu. Semuanya naik dua kali lipat, baik jumlah maupun harga batik tulisnya. Hal ini juga dialami rumah rumah batik lain di Desa Ciwaringin,” tutur Hasan takjub.
Pemilik rumah batik “Kamila”, Ridwan (47), dan pemilik Rumah Batik “Novi”, Solifah (30) membenarkan cerita Hasan. “Sekarang kami sudah mengenal pola pergerakan pasar batik kami. Pembeli melimpah menjelang Lebaran, setelah itu sepi, lalu kembali pada angka penjualan harian,” ucap Solifah di gerai batiknya.
Dalam soal warna, lanjut Ridwan, pembeli batik Ciwaringin kini lebih cenderung memilih warna biru. Sementara soal motif, tambah Hasan, yang paling populer adalah motif Pecutan, Tebu Sekeret, dan Ganepo. Pilihan motif lain yang juga digemari adalah motif Rajeg Wesi, Manggaran, dan Gribigan.
Kini, masa puncak itu lewat sudah. Namun, bukan berarti industri rumahan batik Ciwaringin kembali suram. “Saat ini kami sudah memiliki Koperasi Anugerah yang beromzet Rp 200 juta per tahun dengan anggota aktif 70 orang,” jelas Hasan.
Mengandalkan pasar lokal
Hasan, Ridwan, dan Novi mengakui, batik tulis Ciwaringin masih mengandalkan pembeli lokal ketimbang pembeli asing. Perbandingannya, 80 persen pembeli lokal dan 20 persen pembeli asing, yakni asal Jerman, Jepang, dan Singapura. “Pembelinya kebanyakan dari Jakarta dan Tangerang, para isteri ulama, serta perempuan pondok pesantren di Ciwaringin,” tutur Ridwan.
Hasan sendiri dalam sebulan mampu menjual minimal 40 potong batik tulis. “Jika dihitung harga batik minimal Rp 200 ribu per potong, maka omzet kami sebulan Rp 8 juta. Jika dikurangi biaya produksi, maka pendapatan bersih kami sebulan Rp 4 juta. Ini angka pesimisnya ya,” ujar Hasan.
Saat ini, harga batik tulis Ciwaringin dari tangan perajin Rp 200 ribu sampai Rp 2 juta per potong. Menurut dia, kain batik tulis yang paling laris adalah batik tulis dengan harga Rp 300.000 per potong. “Untuk batik yang berbahan katun primisima tiga bendera, harganya Rp 200 sampai Rp 1 juta, sedangkan yang berbahan sutera harganya Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta per potong,” jelas Hasan yang membuka usahanya sejak 1997.
Bebas pencemaran
Saat ini, 90 persen perajin batik tulis Ciwaringin sudah kembali menggunakan pewarna batik alami. Hanya 10 persen saja yang masih menggunakan pewarna sintetis. Meski demikian, mereka tetap membangun instalasi pengolahan air limbah (Ipal) di pemukiman mereka.
Hasan dan para perajin batik tulis Ciwaringin mensyukuri semua yang sudah mereka peroleh. Pemukiman yang bebas pencemaran dan industri rumahan batik yang mulai bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.
“Langkah berikut kami adalah membangun sistem E-Commerce untuk meningkatkan omzet produk kami. Hasilnya, bukan hanya buat kami, warga Blok Kebon Gedang, tetapi insya Allah juga untuk membantu pesantren,” tutur Hasan.
Ia berpendapat, sudah sepantasnya warga Desa Ciwaringin membantu para santri yang mewariskan batik Ciwaringin kepada mereka.