Ada penanda penting sektor perindustrian tahun lalu, yakni pencanangan Making Indonesia 4.0. Peristiwa yang terjadi 4 April 2018 itu menandai keinginan Indonesia di era revolusi industri keempat atau lazim disebut Industri 4.0.
Pelan tapi pasti, frasa Industri 4.0 merambah ke ruang publik. Berbagai seminar, diskusi, kompetisi, dan aktivitas lain digelar untuk memperjelas sosok 4.0 itu. Yang jelas, ada keinginan meningkatkan pertumbuhan dan kontribusi sektor industri melalui penerapan teknologi termutakhir.
Wajar Indonesia menaruh harapan pada sektor industri dan teknologi terkini. Sebab, kondisinya memang menantang dan ada harapan investasi dan ekspor tumbuh.
Akan tetapi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menengarai, ada kaitan antara eksekusi kebijakan proinvestasi dengan realisasi penanaman modal di Indonesia. Eksekusi yang kurang akan tecermin pada realisasi investasi yang tak optimal.
Tren positif investasi memang ikut mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia 2-3 tahun terakhir. Hal ini terutama terjadi tahun 2016 dan 2017. Bahkan berlanjut hingga triwulan I-2018. Kondisi ini dinilai terkait peluncuran serangkaian program deregulasi di tahun 2015 dan tax amnesty tahun 2016. Namun, data BKPM menunjukkan investasi berkurang mulai triwulan II-2018. Selain faktor eksternal terkait tekanan pada rupiah dan ketidakpastian akibat perang dagang, tak optimalnya investasi di 2018 juga karena tidak ada terobosan yang berarti di tahun 2017.
Realisasi investasi pada Januari-September 2018 sebesar Rp 535,4 triliun, naik 4,3 persen dibandingkan periode sama 2017 yang Rp 513,2 triliun. Okelah, investasi memang tumbuh, tetapi tidak setinggi potensinya, terlebih bila segenap faktor pendukung tersedia. Realisasi investasi triwulan III-2018 bahkan hanya Rp 173,8 triliun atau turun 1,6 persen dibandingkan periode sama tahun 2017 yang Rp 176,6 triliun.
Ada sejumlah formula yang bisa ditempuh untuk mengembalikan laju investasi. Asosiasi Pengusaha Indonesia meyakini pemberian insentif akan berdampak. Tak hanya fisik, insentif juga bisa mendorong investasi di sisi sumber daya manusia.
Indonesia yang berpopulasi besar dengan banyak angkatan kerja tentu butuh lapangan kerja. Investasi jadi salah satu jawaban untuk mengurangi pengangguran.
Terkait ekspor, Kementerian Perindustrian mencatat, sepanjang tahun 2017 ekspor industri manufaktur 125,02 miliar dollar AS atau berkontribusi 74,10 persen pada struktur ekspor Indonesia. Dominasi sektor industri berlanjut hingga tahun 2018. Data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor industri pengolahan Januari-November 2018 sebesar 119,85 miliar dollar AS, naik 4,5 persen dibandingkan periode yang sama 2017 yang 114,69 miliar dollar AS.
Akan tetapi, peningkatan itu saja tidak cukup. Ekspor nonmigas perlu digenjot lebih tinggi. Hal ini diperlukan untuk mengompensasi impor migas negeri ini yang tinggi.
Para pelaku usaha menilai ada beberapa langkah jangka pendek atau menengah yang bisa ditempuh untuk mendongkrak ekspor nonmigas. Langkah itu antara lain melalui pemberian kemudahan pengadaan domestik untuk tujuan ekspor. Pemberian diskon terminal handling charge untuk ekspor nonmigas dan mengaktifkan imbal dagang pun dinilai bisa ikut mendongkrak ekspor nonmigas.
Beragam masalah untuk meningkatkan daya saing sebenarnya sudah diketahui. Solusinya pun sudah terpetakan dalam butir-butir belasan paket kebijakan ekonomi.
Implementasi kebijakan yang mendukung dunia usaha kiranya menjadi salah satu kunci untuk memastikan peningkatan investasi dan juga ekspor. Begitu investasi dan ekspor meningkat, ada harapan ekonomi negeri ini tumbuh lebih baik.