JAKARTA, KOMPAS – Upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual perlu serius dilakukan. Utamanya yang terjadi di lingkungan kerja. Pencegahan dapat dilakukan di antaranya dengan membentuk satuan tugas hingga mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual.
Aktivis Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Ratna Batara Munti mengatakan, mencuatnya sejumlah kasus kekerasan seksual terutama di dunia kerja patut diperhatian serius. “Kasus-kasus ini harus menjadi sorotan bagi siapa pun. Terutama para pengambil kebijakan,” kata Ratna usai Diskusi Melawan Predator Seks, Berkaca pada Dugaan Kekerasan Seks di Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan (BPJS) Kesehatan Ketenagakerjaan yang digelar Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Jakarta, Selasa (8/1/2019).
Ratna mengingatkan sudah ada aturan terkait kekerasan seksual yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 3 Tahun 2017 tentang Satuan Tugas Penanganan Masalah Perempuan dan Anak.
Ia mencontohkan, bagaimana sebuah desa di Tegal Ombo, Kecamatan Way Bungur, Kabupaten Lampung Timur membentuk Tim Satgas dalam penanganan masalah perempuan dan anak. Diharapkan, korban kekerasan seksual yang acapkali mengalami kesulitan melapor, bisa didampingi.
“Selain melakukan pencegahan lewat sosialisasi, mereka juga bisa mengarahkan kemana saja rujukan layanan-layanan dan bagaimana jalurnya,” ungkap Ratna.
Ratna menambahkan, seluruh perusahaan idealnya juga memiliki kode etik yang khusus mengatur tentang kekerasan sosial di tempat kerja. Di dalamnya tak sekadar mengatur langkah penanganan, tetapi juga pencegahannya.
Pada dasarnya, kode etik itu sudah disusun di banyak tempat kerja di Indonesia. Meski begitu, Ratna menganggap, penerapannya dianggap masih belum optimal.
“Seharusnya, ada sebuah tim satgas itu yang berperan menerima dan memproses pengaduan dalam perusahaan,” ungkap Ratna.
Menurut Ratna, tugas tim satgas yang dibentuk perusahaan yaitu memberikan sosialisasi bentuk-bentuk kekerasan seksual secara berkala. Hal itu menjadi salah satu bentuk upaya pencegahan. Oleh sebab itu, mereka harus dilatih secara khusus.
Ia menambahkan, hal ini juga harus menjadi perhatian serius dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Asosiasi-asosiasi, dan lainnya. Adapun, upaya pencegahan itu sudah dilakukan di perusahaan industri dengan menyusun dokumen tertulis terkait dengan pelecehan seksual. “Harus ada pelopor, terutama dari lembaga di bawah naungan negara. Bukan hanya pihak swasta,” ungkap Ratna.
RUU didesak
Sementara itu, Juru Bicara PSI Bidang Perempuan, Dara Adinda Nasution, mengatakan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual didesak untuk segera disahkan DPR sebelum Pemilihan Umum bergulir. Mengingat pembahasan dokumen itu telah terhenti selama dua tahun ini.
“Dalam hal ini, komitmen partai-partai dalam parlemen patut dipertanyakan,” ujar Dara.
Dalam dua tahun itu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih berkutat pada rapat dengar pendapat umum di Panitia Kerja di Komisi VIII DPR. Adapun, pembahasan dengan pemerintah juga belum dilakukan. (Kompas, 19/11/2018)
Seperti diketahui, sebuah kasus kekerasan seksual baru saja menimpa salah satu pegawai kontrak di Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan. RA, diduga menjadi korban tindak asusila oleh atasannya berinisial SAB dalam dua tahun terakhir. “Saya disesatkan dan diperdaya oleh relasi kuasa. Kali ini saya tak lagi diam,” ungkap RA lirih.
RA mengungkapkan, sejumlah hambatan ia hadapi dalam perlawanan tersebut. Mulai dari ancaman PHK, perundungan, hingga fitnah dari atasan dan rekan-rekan kerjanya. Ia dianggap telah merusak citra perusahaan. Meski begitu RA terus berkomitmen untuk menuntut keadilan dalam kasusnya.
Sebelumnya, kasus serupa juga dialami oleh Baiq Nuril Maknun, seorang anggota staf tata usaha yang diduga dilecehkan seksual secara verbal oleh HM, Kepala Sekolah di tempatnya bekerja. (Kompas, 21/11/2018). (FAJAR RAMADHAN)