KPAI Proyeksi Peraturan Perlindungan Anak Segera Terbit
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat 4.855 kasus pelanggaran hak anak sepanjang tahun 2018. Jumlah ini meningkat dari 4.579 kasus tahun 2017.
Hal ini membuat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyiapkan tujuh langkah prioritas tahun 2019 untuk meningkatkan perlindungan anak. Salah satunya adalah mendorong percepatan terbitnya peraturan pemerintah dan peraturan presiden tentang peradilan anak.
”Proyeksi di tahun 2019 ini karena ada tugas-tugas yang tersisa, masih butuh di-endorse karena capaiannya memang belum maksimal,” kata Ketua KPAI Susanto dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (8/1/2019).
KPAI memproyeksikan penguatan pengawasan untuk mengurangi pelanggaran hak anak. Hal utama yang dilakukan KPAI pada 2019 adalah memastikan pemerintah berkomitmen mempercepat terbitnya enam peraturan pemerintah (PP) dan dua peraturan presiden (perpres) sebagai aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Harapan percepatan ini timbul karena tahun 2018 masih menyisakan beberapa pengaturan PP Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 71 Ayat 5 dan Pasal 90 Ayat 2 Perpres tentang Pelaksanaan Hak Anak Korban dan Anak Saksi.
Rancangan Perpres tentang Sekolah Ramah Anak juga menjadi perhatian KPAI. Sekolah ramah anak harus terwujud di seluruh Indonesia, termasuk di daerah pedalaman.
Revisi UU Perkawinan
Selain PP dan perpres, KPAI juga akan mengawal mandat Mahkamah Konstitusi kepada Dewan Perwakilan Rakyat terkait rencana merevisi pasal batas usia menikah bagi perempuan. Aturan ini tertuang pada UU Perkawinan.
”Terkait putusan MK yang belum memutuskan (batas usia), KPAI akan mengkaji dari berbagai perspektif karena jika melihat UU Perkawinan hal ini tidak hanya menyangkut angka. Kita akan menilik dari berbagai perspektif perlindungan anak, mulai dari sisi kesehatan, psikologi, syariat, pendidikan, sebagai bagian dari ikhtiar untuk menetapkan sebenarnya berapa usia bagi anak perempuan (layak untuk menikah),” tutur Susanto.
Secara kesehatan, usia anak perempuan untuk bisa menikah ialah 18 tahun dengan melihat kesiapan alat reproduksi. Hal ini tentu bisa menjadi pertimbangan awal menentukan batas usia pernikahan dalam revisi UU Perkawinan.
”Alat-alat reproduksi pada wanita di bawah 18 tahun belum tumbuh optimal sehingga jika terjadi kehamilan, bisa disertai keguguran dan kelainan-kelainan pada kehamilan. Termasuk juga memengaruhi pertumbuhan otak (pada janin),” ujar dokter ahli kebidanan Sarsanto W Sarwono.
Selain usia perkawinan, fokus KPAI terhadap perlindungan anak pada tahun 2019 juga menghindarkan anak dari iklan rokok. KPAI akan memastikan substansi RUU Penyiaran sepenuhnya tidak mengakomodasi iklan rokok.
Perlindungan anak juga mencakup kebijakan hukum bagi anak yang orangtuanya sedang berkonflik. Perlindungan ini bisa diwujudkan melalui peraturan Mahkamah Agung dan ratifikasi The Hague Convention on Child Abduction. Dalam menghadapi pelanggaran hak anak pada orangtua berkonflik, KPAI memprioritaskan jalur mediasi berperspektif hak anak sebagai penyelesaian terbaik.
Perdagangan anak
Selain dalam kehidupan keluarga, hak anak yang membutuhkan perhatian besar tahun 2019 adalah saat terjadi bencana alam. Hal ini melihat pengalaman tahun 2018 ketika Indonesia mengalami beberapa kali bencana besar. Perolehan hak anak diwujudkan dengan pembangunan, pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Salah satu yang menjadi masalah anak dalam bencana ialah pengasuhan bagi anak yang kedua orangtuanya meninggal. Saat ini, pemerintah menggunakan program pengasuhan berbasis keluarga, anak dikembalikan kepada keluarga terdekatnya.
Akan tetapi, menurut komisioner KPAI, Susianah Affandy, program ini rawan terjadi perdagangan anak terselubung. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih aktif lagi mengawasi perlindungan anak-anak korban bencana alam agar mereka tidak menjadi korban perdagangan anak terselubung.
”Ini rentan perdagangan paling samar, yaitu dibawa keluarganya (tapi disuruh bekerja). Situasi yang tidak tersentuh hukum. Kenyataannya, banyak anak yang diambil keluarganya disuruh jaga warung, (jadi) pengasuh bayi. Artinya, itu modus perdagangan yang harus diperhatikan,” tutur Susianah.
Ia menambahkan, untuk mencegah kejahatan ini, hal utama yang perlu dilakukan adalah melengkapi pendataan anak korban bencana. Selama ini, data korban bencana hanya data umum, disatukan antara anak dan orang dewasa. Jika pendataan jelas, lebih mudah mengetahui alur penyebaran anak korban bencana sehingga pemerintah juga dapat mengontrol lebih jauh. (SITA NURAZMI MAKHRUFAH)