Lima Kebijakan untuk Peningkatan Daya Saing Ekspor
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyiapkan lima kebijakan utama untuk meningkatkan daya saing ekspor dalam jangka pendek. Tahun ini, kebijakan difokuskan pada penyederhanaan prosedur untuk mengurangi biaya ekspor dan pemilihan komoditas unggulan.
Kebijakan peningkatan daya saing ekspor itu terdiri dari perbaikan iklim usaha melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS), fasilitas insentif perpajakan, program vokasi, penyederhanaan prosedur untuk mengurangi biaya ekspor, dan pemilihan komoditas unggulan.
”Tiga kebijakan awal sudah terimplementasi sejak 2018. Setelah supply side digarap. Kita punya dasar untuk maju lebih jauh dengan logistik dan kinerja industri yang lebih baik,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dalam paparan proyeksi ekonomi 2019, di Jakarta, Selasa (8/1/2019).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor migas dan nonmigas Indonesia pada Januari-Oktober 2018 hanya tumbuh 8,84 persen dari periode sama 2017. Pertumbuhan itu kalah jauh daripada impor yang tumbuh 23,37 persen. Hal ini menyebabkan neraca perdagangan pada Januari-Oktober 2018 defisit 5,51 miliar dollar AS.
Darmin mengatakan, peningkatan daya saing ekspor dalam jangka pendek penting untuk mendorong kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi 2019. Selain melalui konsumsi, pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa bersumber dari investasi dan ekspor kendati belum cukup signifikan. Kinerja ekspor seharusnya bisa terapresiasi seiring dengan pelemahan kurs rupiah, tetapi kenyataan belum sesuai harapan.
Untuk memperbaiki kinerja industri, lanjut Darmin, permasalahan krusial harus segera dibenahi terkait logistik. Infrastruktur fisik yang sudah dibangun dalam empat tahun terakhir akan dikombinasikan dengan sistem digital. Tujuannya, mengurangi biaya ekspor yang selama ini membebani pelaku usaha. Namun, implementasi sistem digital ini membutuhkan tenaga kerja yang kompeten.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, reformasi logistik mulai digarap Bea dan Cukai dengan meluncurkan sistem manifes generasi III. Seluruh proses pengajuan dan perubahan manifes kini berbasis elektronik sehingga dapat menurunkan waktu tunggu bongkar muat (dwelling time) dan biaya logistik. Upaya memperbaiki daya saing ekspor bukan perkara mudah yang bisa diselesaikan sekejap.
”Ini bukan hanya masalah uang, alokasi berapa untuk apa, tetapi koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah serta antarkementerian,” kata Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, kinerja perekonomian Indonesia tahun 2018 yang cukup positif menjadi daya tarik investasi dan ekspor. Pertumbuhan ekonomi tahun ini ditargetkan 5,3 persen, tetapi mungkin terkoreksi hingga 5,1 persen di tengah ketidakpastian global.
Selain itu, inflasi terjaga pada level 3 persen serta pelemahan nilai tukar yang tidak sedalam negara berkembang lainnya.
Komoditasunggulan
Peningkatan ekspor berbasis nonkomoditas bernilai tambah tinggi menjadi prioritas. Setidaknya ada lima sektor unggulan dalam peta jalan revolusi industri 4.0, yaitu industri kimia, tekstil dan produk tekstil (TPT), elektronik, otomotif, serta makanan dan minuman. Sektor lainnya bisa dari industri perikanan, permesinan, peralatan kesehatan, furnitur, serta produk kayu dan kertas.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyebutkan, kontribusi industri manufaktur terutama lima sektor prioritas tersebut mencapai 74 persen dari total ekspor Indonesia. Secara keseluruhan, kontribusi industri mencapai 20 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan perpajakan sebesar 30 persen. Peluang untuk memperbesar kontribusi industri masih terbuka lebar.
”Pemerintah menyiapkan berbagai insentif untuk mendorong peningkatan ekspor, misalnya, mini-tax holiday untuk industri labor intensive,” kata Airlangga.
Kontribusi industri manufaktur mencapai 74 persen dari total ekspor Indonesia.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Anton Gunawan berpendapat, perbaikan dari sisi ketersediaan cukup menantang, terutama peningkatan produktivitas tenaga kerja, sehingga arah kebijakan mesti jelas. Langkah yang diambil pemerintah sudah tepat karena jika kebijakan hanya fokus ke sisi permintaan akan terjadi ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran.
”Kedalaman sektor finansial juga harus diperbaiki. Selama ini neraca pembayaran mengandalkan investasi portofolio. Pemerintah mesti fokus menarik investasi asing langsung,” tutur Anton.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani menambahkan, peningkatan daya saing ekspor tidak akan terjadi tanpa koordinasi antara pemerintah, tenaga kerja, pelaku usaha, dan akademisi. Selama ini daya saing relatif rendah, salah satunya karena Indonesia terlambat dalam menggarap kesepakatan perdagangan bebas.