Mitigasi Bencana Digalakkan di Sekolah dan Universitas
Oleh
Nina Susilo / FX Laksana Agung
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menginstruksikan edukasi kebencanaan mulai dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi selain ke masyarakat umum. Dengan demikian, seluruh komponen masyarakat menyadari dan tanggap menghadapi kemungkinan bencana yang sewaktu-waktu terjadi.
Untuk itu, Presiden Jokowi menambahkan bahwa penguatan kesiagaan diperlukan untuk menghadapi bencana. Hal itu diungkapkan Presiden Jokowi saat memberi pengantar pada pembukaan sidang kabinet paripurna di Istana Negara Jakarta, Senin (7/1/2019).
“Sebagai negara yang berada di atas cincin api, memiliki kondisi geografis rawan bencana kita harus siap, harus respon, harus sigap, harus tangguh dalam setiap menghadapi bencana alam. Saya minta edukasi kebencanaan ini betul-betul dikerjakan secara baik dan konsisten dan dilakukan sejak dini,” tutur Presiden.
Selain Wakil Presiden Jusuf Kalla, hadir pula dalam sidang kabinet paripurna, antara lain Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy, dan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Nasir.
Untuk mendukung edukasi, mitigasi, dan antisipasi bencana, pemerintah dan DPR mengakokasikan anggaran lebih banyak pada APBN 2019. Pada 2018 realisasi anggaran bencana mencapai lebih dari Rp 7,035 triliun, termasuk bantuan pembangunan rumah kembali senilai Rp 3,765 triliun yang sudah dicarikan.
Pada 2019, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, alokasi anggaran bencana ditingkatkan dua kali lipatnya hingga mencapai Rp 15 triliun. Dari Rp 15 triliun tersebut, termasuk rencana Rp 1 triliun untuk pooling fund di antaranya seperti asuransi bencana yang masih akan dikaji lagi oleh Kemenkeu.
Proses belajar-mengajar
Pendidikan kebencanaan, menurut Muhadjir, dilakukan baik di sekolah maupun untuk masyarakat luas secara lebih massif. Pendidikan kebencanaan di sekolah akan lebih sistematis kendati ditegaskan bahwa pendidikan kebencanaan tidak akan menjadi mata pelajaran sendiri.
Mitigasi kebencanaan hanya menjadi bagian dari proses belajar-mengajar di sekolah dengan tiga masalah kebencanaan yang akan ditanamkan pada siswa. Pertama, pengetahuan dan informasi. Kedua, teknis apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana. Ketiga, simulasi tanggap darurat bencana.
“Pengetahuan (kebencanaan) mungkin bisa disisipkan pada mata pelajaran seperti geografi, biologi, dan program penguatan karakter. Teknis kebencanaan bisa disampaikan orang ahlinya misalnya dari BNPB. Simulasi bisa melalui ekstrakurikuler seperti Pramuka, korps sukarelawan siswa, PMR,” tutur Muhadjir.
Edukasi kebencanaan, menurut Muhadjir, sudah dimulai. Di sekolah misalnya ada semacam lomba kepramukaan termasuk ketangkasan memberi pertolongan darurat. Namun, untuk mengintensifkan hal ini akan disiapkan Peraturan Menteri. Adapun pelaksanaannya memerlukan kerja sama dengan kepala-kepala daerah.
Setiap daerah juga bisa menyesuaikan dengan kerawanan bencana dan karakter wilayah tersebut. Pendidikan kebencanaan pun, tambah Muhadjir, bisa membawa efek berganda sebab akan mengaktifkan palang merah sekolah, korps sukarelawan sekolah, maupun Pramuka.
Namun, pendidikan kebencanaan akan berlangsung secara bertahap. “Karena ada juga kewenangan daerah - pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, jadi tidak serta-merta,” tutur Muhadjir. Diharapkan, 41 juta siswa di 320.000 sekolah mulai mendapatkan pendidikan kebencanaan ini mulai tahun ajaran baru.
Sementara di tingkat perguruan tinggi, menurut Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir, tahun ini mitigasi kebencanaan juga mulai masuk kurikulum di perguruan tinggi.
"Tahun ini, mitigasi kebencanaan sudah masuk dalam kuliah di ITB, Universitas Syeh Kuala, Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada dan universitas lainnya," ujarnya.
Selain mata kuliah bela negara dan pemberantasan korupsi, mata kuliah lainnya adalah mitigasi kebencanaan. "Dari mitigas kebencanaan, ada empat faktor yang dipelajari yaitu bencana akibat gempa bumi dan tsunami, asap, banjir dan longsor. Dari empat faktor tersebut, yang paling rawan adalah gempa bumi dan stunami," kata Nasir. (SUHARTONO)