RAJABASA, KOMPAS- Lebih dari dua pekan terkena terjangan tsunami, nelayan dari desa-desa di pesisir pantai Kabupaten Lampung Selatan belum kembali melaut. Kapal-kapal dan peralatan tangkap ikan nelayan masih rusak akibat bencana tersebut.
“Sejak tsunami, kami belum melaut lagi. Kapal saya masih rusak,” ujar Afrizal (25), nelayan asal Desa Waimuli Induk, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, ditemui Selasa (8/1/2019).
Ia mengatakan, saat tsunami datang, kapalnya ikut terhempas gelombang dan tersangkut di rumah warga yang jaraknya sekitar 15 meter dari bibir pantai. Akibatnya kapal itu mengalami kerusakan mesin dan lambungnya jebol. Tidak hanya itu, jala alat tangkapnya juga hilang.
“Kapal saya jelas tidak bisa dipakai melaut. Ini sudah tidak bisa laju ke tengah laut karena mesin rusak, bisa tenggelam juga karena lambung bocor. Mau tangkap ikan pakai apa juga, kalau jalanya tidak ada,” ujar Afrizal.
Untuk bisa kembali melaut, Afrizal menaksir diperlukan biaya lebih dari Rp 30 juta untuk memperbaiki dan menyiapkan semua keperluan. “Jangankan uang untuk memperbaiki kapal, rumah saya saja hancur sebagian,” ujarnya.
Nasib nahas juga dialami nelayan lainnya. Misja (66), nelayan dari Desa Waimuli Timur, Kecamatan Rajabasa harus kehilangan satu-satunya kapal kayu yang menjadi sumber penghidupannya. “Tidak tahu kapal saya dimana. Mungkin sudah hancur. Tapi saya pun belum menemukan bangkainya,” ujar Misja.
Kehilangan pendapatan
Baik Afrizal maupun Misja mengatakan, mereka kehilangan satu-satunya mata pencahariannya. Sebab, mereka tidak memiliki keahlian selain menangkap ikan. “Mau jadi buruh bangunan tapi sepi proyek. Mau jadi buruh pabrik tapi disini tidak ada pabrik. Mau bertani, kami tidak punya tanah. Kami cuma tahu melaut saja,” ujar Misja.
Afrizal menjelaskan, dia biasa melaut selama tiga hari dalam satu kali perjalanan. Adapun wilayah jangkauannya di sekitar Pulau Sebuku, Pulau Sebesi, dan Gunung Anak Krakatau. Selama tiga hari melaut, dia bisa menangkap ikan rata-rata 200 kilogram (kg) – 250 kg. Sementara ikan-ikan yang ditangkap adalah ikan tongkol dan ikan selar.
Ikan-ikan itu kemudian dibawa ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang berada di Desa Waimuli Timur. Satu kg ikan tongkol dijual dengan harga Rp 20.000 dan satu kg ikan selar dijual dengan harga Rp 35.000. Setelah itu, ikan-ikan itu akan dipasok ke pasar di Kecamatan Kalianda, yang merupakan ibukota Kabupaten Lampung Selatan.
Dengan hasil tangkapan rata-rata 200 kg-250 kg, Afrizal bisa mendapatkan pendapatan Rp 4 juta – Rp 5 juta. Dengan ongkos melaut sekitar Rp 2 juta untuk bahan bakar, perlengkapan, dan perbekalan, maka dalam sekali melaut Afrizal bisa mendapatkan pendapatan bersih sekitar Rp 2 juta – Rp 2,5 juta.
Kini tak hanya kapal nelayan yang rusak, TPI Waimuli Timur pun sudah rata dengan tanah. Dengan hilangnya mata pencaharian mereka, kini Afrizal dan Misja berharap ada kebijakan dari pemerintah mengenai nasib mereka ke depan. "Bantuan yang datang itu kebanyakan pakaian dan makanan. Belum ada pantauan seperti alat tangkap atau lainnya," ujar Afrizal.
Kepala Desa Waimuli Timur Zamra Ghozali mengatakan, dari 1.472 warga di desanya, sebanyak 80 persen di antaranya adalah nelayan. Sisanya bekerja sebagai petani, penyedia jasa wisata, pedagang, dan pegawai negeri sipil. “Kami tinggal di pesisir pantai. Jadi kebanyakan dari warga disini adalah nelayan,” ujar Zamra.