Nurhadi-Aldo atau Dildo hadir bak oase di tengah gurun pasir yang tandus. Kehadiran mereka bisa mendinginkan tensi politik yang turut menyeret publik larut di dalamnya. Kehadiran mereka sekaligus menjadi momentum bagi elite politik untuk refleksi diri menghadapi Pemilu 2019.
Beberapa pekan terakhir, Nurhadi-Aldo menjadi idola baru bagi warganet. Di berbagai platform media sosial, ”kampanye” mereka menggelakkan. Warganet pun terpicu untuk ikut meramaikannya, dengan membalasnya atau sekadar mengunggah ulang atau memberi simbol like sebagai tanda menyukai narasi ”kampanye” yang disuguhkan Nurhadi-Aldo.
Lihat saja salah satu cuitan @nurhadi_aldo, akun resmi Nurhadi-Aldo di Twitter, pada Rabu (2/1/2018). ”Walau hanya diusung dari satu partai kami tetap yakin dan pesimis dapat memenangkan pelimu tahun ini. Yang menjadi harapan kami pada pelimu kedepannya adalah kami berharap adanya adu program yang jelas serta mencerdaskan dan membuka wawasan rakyat bukan adu pendapat yang setiap harinya”.
Cuitan Nurhadi-Aldo yang telah diunggah ulang lebih dari 930 kali dan disukai oleh setidaknya 760 akun di Twitter itu kontras dengan pernyataan para elite politik yang berkontestasi pada tahun 2019, yang selalu menyatakan optimistis untuk menang. Cuitannya juga menyindir adu pendapat yang kini jauh lebih marak daripada adu gagasan dan program.
Dan, jika ditilik lebih lanjut, Nurhadi-Aldo menyebut kata ”pemilu” dengan ”pelimu”. Sebuah gaya bahasa keseleo atau tidak baku, yang memang menjadi gaya bahasa Nurhadi-Aldo dalam narasi-narasi kampanyenya.
Kepopuleran mereka di dunia maya kian terlihat saat tagar #UdahNurhadiAja menjadi salah satu topik pembicaraan utama di Twitter sejak Selasa (8/1/2019) pagi hingga menjelang petang.
Selain di Twitter, akun Nurhadi-Aldo di Instagram, @nurhadi_aldo, juga diikuti banyak warganet pengguna Instagram. Hingga Selasa sore, pengikutnya sudah mencapai 274.000 akun. Begitu pula di Facebook, ada setidaknya 146.000 pengguna Facebook yang menyukainya.
Nurhadi-Aldo dengan narasi-narasi kampanyenya juga menyebar masif di aplikasi-aplikasi jejaring sosial. Salah satunya melalui Whatsapp.
Maka, tak heran, dia kini populer tak hanya di dunia maya, tetapi juga di dunia nyata.
Siapa sebenarnya Nurhadi-Aldo?
Di akun Twitter-nya, mereka menyatakan diri sebagai calon alternatif presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019. Mereka pun mendeklarasikan diri sebagai pasangan nomor urut 10 dengan slogan ”Menuju Indonesia Tronjal Tronjol Maha Asyik”.
Dan, seperti layaknya capres-cawapres, dia intens berkampanye. Hanya saja, materi kampanyenya berisi satire dari kondisi perpolitikan saat ini. Satire dari janji-janji yang sering dilontarkan capres-cawapres atau peserta pemilu lainnya kepada publik ataupun satire dari pernyataan ataupun pendapat elite politik.
Refleksi diri
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, menilai, kemunculan Dildo bisa ditangkap sebagai respons publik atas memanasnya situasi politik menjelang Pemilu 2019. Publik jengah dengan kondisi itu dan mencoba untuk ikut meredakan tensi tersebut.
”Itu menjadi warna tersendiri dalam mengurangi ketegangan politik saat ini,” ucapnya.
Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk melihat hal serupa. Nurhadi-Aldo disebutnya merupakan cara masyarakat untuk keluar dari kejenuhan politik. Kejenuhan itu karena situasi politik yang terlalu ”bersemangat” sehingga arahnya justru cenderung negatif.
”Masyarakat butuh keluar dari kesumpekan itu. Kemunculan akun itu sebagai bentuk perlawanan memanasnya situasi pilpres,” ujar Hamdi.
Tidak ada adu gagasan atau program dari para peserta Pemilu 2019, misalnya, yang ditampilkan kepada publik kebanyakan adu pendapat, bahkan kerap kali elite politik justru saling menghina.
”Situasi politik yang heboh dan miskin substansi perlu dikritik secara jelas. Akun (Dildo) itu mengajak kita untuk menertawai betapa gaduhnya situasi politik yang terlalu bersemangat,” kata Hamdi.
Oleh karena itu, kehadiran Nurhadi-Aldo melalui narasi-narasi kampanyenya yang berisi satire tersebut hendaknya dijadikan pula momentum bagi elite-elite politik, khususnya yang berkontestasi di Pemilu 2019, untuk refleksi diri. Masih ada sisa waktu sekitar tiga bulan hingga tanggal pemungutan suara Pemilu 2019 bagi elite-elite politik untuk memperbaiki diri dan menjaga situasi tetap adem. Kemudian menghadirkan adu program daripada terus-menerus adu pendapat.
Bagi Dildo, Arie Sujito mengusulkan agar narasi kampanyenya juga bermaterikan konten yang edukatif, jadi tak semata satire. Sebagai contoh, mengusulkan isu atau perspektif yang tidak diangkat oleh calon-calon pemimpin yang berkontestasi di 2019. Dengan demikian, Dildo dapat turut mencerahkan masyarakat.
”Gagasan banyolan yang berkonotasi positif akan memberikan makna tersendiri bagi masyarakat. Namun, jika hal sebaliknya yang diunggah, maka akan memberikan dampak negatif,” ujar Arie. (MELATI MEWANGI)