JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah untuk menarik pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah ke dalam sistem perpajakan dinilai masih sulit dilakukan tahun 2019. Pemahaman mengenai aturan perpajakan yang terkesan rumit dan membebani pelaku usaha harus diubah untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak.
Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, di Jakarta, Selasa (8/1/2019), mengatakan, kontribusi penerimaan pajak sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar Rp 6 triliun. Jumlah itu masih kecil apabila dibandingkan dengan kontribusi pendapatan terhadap produk domestik bruto (PDB), mencapai Rp 1.300 triliun.
”Hal ini karena banyak pelaku UMKM yang belum terdaftar. Selain itu, pelaku UMKM dari ranah e-dagang yang penghasilannya terkena wajib pajak juga sulit untuk didata,” kata Yustinus dalam konferensi pers pra-acara Fintax Fair 2019 di Jakarta.
Menurut Yustinus, dari sekitar 50 juta pelaku UMKM yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS), sebagian besar dari mereka tidak memahami bagaimana aturan perpajakan berlaku. Selain itu, mereka juga tidak terbiasa menyiapkan laporan untuk audit keuangan sejak awal memulai usaha.
Direktur Eksekutif PT Harmoni Solusi Bisnis Andoko Chandra memaklumi banyak pelaku usaha yang tidak mengerti menyusun laporan keuangan karena memulai bisnis secara amatir. Hal ini dapat berpengaruh karena kewajiban membayar pajak erat hubungannya dengan laporan keuangan.
Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan telah meringankan beban pelaku usaha dari kewajiban pajak sebesar 1 persen menjadi 0,5 persen. Walau ringan, insentif ini belum cukup untuk menarik minat pelaku UMKM membayar pajak.
Yustinus mencontohkan, keringanan nilai pajak 0,5 persen dapat dipadukan dengan sejumlah insentif kebijakan pemerintah. Ketika membayar pajak, misalnya, mereka mendapat bantuan pembukuan dan kredit usaha.
”Pemerintah dapat membuat paket kebijakan, jadi tidak sekadar nilai pajak yang murah. Ini menjadi tugas Direktorat Jenderal Pajak, Bank Indonesia, serta kementerian terkait,” ujar Yustinus.
Selain itu, pemerintah daerah semestinya juga turut mengambil andil dalam mengingatkan kewajiban pajak pelaku usaha. Hal ini karena ranah UMKM dinilai Yustinus sebagai bagian dari domain pemerintah daerah.
Literasi
Di sisi lain, pelaku usaha yang memulai bisnisnya secara amatir perlu diedukasi tentang pentingnya memahami perpajakan. Berdasarkan riset Harmoni Bisnis Solusi, yang bergerak di bidang teknologi finansial (tekfin), Andoko mengatakan, banyak UMKM yang rugi besar karena tidak memperhitungkan urusan pajak saat memulai usaha.
”Sayang sekali kalau pelaku usaha baru mulai meningkatkan skala usaha justru bermasalah di tunggakan pajak dan nilainya terlalu besar,” kata Andoko.
Direktur Eksekutif PT Mitra Ibisnis Terapan (Premiro) Aditya Budi menyebutkan, pelaku UMKM dapat memanfaatkan fasilitas tekfin untuk membantu pembukuan usahanya. Bagaimanapun, pembukuan sangat berkaitan dengan manajemen risiko.
”UMKM sangat rentan dengan risiko keuangan. Selain pembukuan melalui bantuan tekfin, pelaku usaha juga dapat memanfaatkan jasa asuransi perusahaan,” ujar Aditya yang memimpin perusahaan tekfin berbasis pembiayaan. (ADITYA DIVERANTA)