JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan berupaya menurunkan utang dari penerbitan surat berharga negara tahun ini. Penurunan utang dilakukan seiring dengan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang mengecil. Langkah ini juga dibutuhkan untuk mengantisipasi beban bunga utang akibat volatilitas kurs rupiah.
Data Kementerian Keuangan yang dikutip Kompas, Selasa (8/1/2018), pembiayaan utang dalam APBN 2019 sebesar Rp 359,3 triliun atau lebih rendah dari realisasi APBN 2018 sebesar Rp 366,7 triliun. Pada 2017, realisasi pembiayaan utang mencapai Rp 429,1 triliun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, imbal hasil surat berharga negara (SBN) tenor 10 tahun saat ini lebih rendah dari Desember 2018 kendati masih pada kisaran 8 persen. Penurunan imbal hasil SBN itu seiring tren dan kondisi global yang menunjukkan optimisme.
Arah kebijakan pembiayaan utang pada 2019 tetap hati-hati, efisien, dan produktif. Pemerintah akan menjaga rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) dengan memanfaatkan utang untuk kegiatan produktif. Selain itu, akuntabilitas pengelolaan utang tetap dijaga dan efisiensi bunga utang ditingkatkan pada risiko terkendali.
Realisasi belanja pemerintah untuk pembiayaan bunga utang sampai 31 Desember 2018 mencapai Rp 258,1 triliun, lebih tinggi dari pagu APBN Rp 238,6 persen. Pembiayaan bunga utang yang membengkak ini akibat depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sebesar 6,89 persen secara tahun kalender (year to date). Adapun rasio utang terhadap PDB sebesar 29,9 persen.
Pada 2019, lanjut Luky, strategi pembiayaan utang diprioritaskan dalam rupiah agar tetap elastis (resilient) terhadap gejolak nilai tukar rupiah. Karena itu, potensi investor domestik dioptimalkan untuk pendalaman pasar sekaligus mengendalikan kepemilikan asing.
Pembiayaan utang tetap melalui penerbitan SBN dan pinjaman, baik dalam denominasi valas maupun rupiah. Kebutuhan pembiayaan utang tahun 2019 akan dipenuhi melalui lelang SBN dan surat berharga syariah negara (SBSN), masing-masing 24 kali.
Dalam APBN 2019, target penerbitan SBN bruto sebesar Rp 825,7 triliun, sedangkan SBN netto sebesar Rp 388,96 triliun.
Alternatifpembiayaan
Pemerintah perlu memikirkan opsi pembiayaan lain di luar surat utang untuk menghindari beban bunga yang semakin tinggi. Porsi investor lokal di pasar surat berharga negara juga mesti ditingkatkan untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Secara terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan, imbal hasil dari surat utang di Indonesia jadi salah satu yang tertinggi di Asia. Dengan inflasi di bawah 3,1 persen, imbal hasil SBN untuk tenor 10 tahun menembus 8,1 persen.
”Selisih antara inflasi dan keuntungan bunga yang lebar sangat menggiurkan bagi para investor global masuk Indonesia,” ujarnya saat dihubungi Selasa (8/1/2018).
Posisi suku bunga acuan Bank Indonesia (BI), yang saat ini mencapai 6 persen, membuat negara secara perhitungan matematis, perlu membayar bunga kepada investor semakin mahal tiap tahun.
Dalam realisasi APBN 2018, anggaran belanja untuk pembayaran bunga utang sudah menembus angka 100 persen. Bhima mengatakan, beban utang tinggi tetap akan membayangi APBN di tahun 2019 dan 2020 seiring dengan rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Fed, yang akan diikuti oleh suku bunga acuan BI.
”Realisasi APBN 2018 seharusnya jadi catatan pemerintah untuk berhati-hati terhadap beban bunga utang yang akan terus semakin mahal,” kata Bhima.
Bhima menyarankan pemerintah untuk menambah instrumen investasi berdenominasi rupiah agar investor ritel dalam negeri, dengan karakteristik investasi jangka panjang meningkat. Hal ini dinilai lebih sehat ketimbang investor global yang kerap keluar masuk dari pasar surat berharga Tanah Air sehingga dapat mengganggu stabilitas moneter.
”Uang investasi juga seharusnya tidak banyak terparkir di SBN, tetapi harus banyak mengalir ke sektor dunia usaha agar tidak menghambat pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.