JAKARTA, KOMPAS — Jumlah kedatangan warga negara asing ke Indonesia menggunakan fasilitas bebas visa kunjungan terus meningkat. Hal ini sejalan dengan semakin gencarnya promosi pariwisata Indonesia sebagai upaya pemerintah menggerakkan perekonomian daerah yang menargetkan kunjungan 16,2 juta wisatawan asing tahun 2018.
Meskipun jumlah warga negara asing (WNA) masuk ke Indonesia meningkat, pemerintah terus memperkuat pengawasan keimigrasian. Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) terus meningkatkan pengawasan orang asing untuk menekan terjadinya pelanggaran keimigrasian.
”Kalau ada WNA membahayakan, baik karena kasus narkoba, terorisme, perdagangan orang, atau penyelundupan barang terlarang, bisa kita tolak (masuk),” kata Direktur Jenderal Imigrasi Kemenkumham Ronny Franky Sompie yang ditemui di Gedung Ditjen Imigrasi Kemenkumham, Jakarta, Selasa (8/1/2019).
Tidak hanya itu, petugas Ditjen Imigrasi juga bisa melakukan pengawasan dan penindakan melalui wawancara singkat di tempat pemeriksaan imigrasi (TPI). Sistem Manajemen Pengawasan Perbatasan (Border Control Management) Direktorat Jenderal Imigrasi mencatat, ada 10,4 juta WNA masuk Indonesia sepanjang tahun 2018 dengan 9,7 juta WNA (90 persen) berasal dari 169 negara yang mendapat fasilitas bebas visa masuk Indonesia.
Jajaran Ditjen Imigrasi di seluruh Indonesia pun terus meningkatkan pemantauan terhadap WNA. Salah satunya adalah melakukan 4.627 tindakan administratif terhadap WNA yang melanggar aturan keimigrasian sepanjang tahun 2018.
Tindakan itu berupa deportasi, penangkalan, pembatalan izin tinggal, hingga pengenaan biaya beban, seperti dalam kasus tinggal melebihi waktu izin berkunjung. Tahun lalu, WNA asal China tercatat paling banyak dikenai tindakan, yaitu 299 orang. Diikuti Afghanistan 270 orang, Vietnam 261 orang, Nigeria 253 orang, dan Malaysia 147 orang. China , Vietnam, dan Malaysia adalah negara penerima fasilitas bebas visa masuk Indonesia.
Ronny mengatakan, upaya pengawasan terhadap WNA yang masuk Indonesia akan tetap dioptimalkan dengan berbagai sistem dan pengaturan. Hal ini untuk mengantisipasi masuknya WNA yang membahayakan, seperti teroris atau pelaku kriminal transnasional.
Dalam melakukan pengawasan WNA yang membahayakan, Ditjen Imigrasi bekerja sama dengan jaringan Interpol di seluruh dunia. Selain itu, Ditjen Imigrasi juga memegang data WNA yang harus ditangkal dari sejumlah aparat penegak hukum, seperti Kepolisian Negara RI (Polri), Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, dan Kementerian Luar Negeri.
Mengatur frekuensi
Untuk memudahkan pemeriksaan, Ditjen Imigrasi juga mengupayakan manajemen transportasi untuk mengatur frekuensi kedatangan WNA. ”Kami bekerja sama dengan pengelola bandar udara dan pelabuhan agar bisa mengatur personel yang melakukan pemeriksaan keimigrasian,” ujar mantan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri tersebut.
”Walaupun saat ini sudah ada sistem autogate (gerbang imigrasi otomatis), ritme kedatangan WNA tetap perlu diatur agar memudahkan dan memaksimalkan pemeriksaan keimigrasian,” lanjutnya.
Saat ini, terdapat 125 kantor imigrasi di seluruh Indonesia. Pengawasan juga dihadirkan di banyak TPI, baik di bandara, pelabuhan, maupun pos lintas batas di perbatasan Indonesia dengan negara tetangga.
Pengawasan orang asing melalui Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora) juga terus dikuatkan. Dibentuk setelah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian disahkan, saat ini sudah dibentuk 2.690 Timpora di 2.185 kecamatan di Indonesia. Sebanyak 786 kali kegiatan bersama telah dilakukan dengan sejumlah pemerintahan dan aparat penegak hukum.
”Tugas Timpora adalah bekerja sama dengan saling berbagi informasi keberadaan orang asing hingga melakukan operasi ketika ada obyek WNA yang harus diperiksa,” ucapnya.
Seiring dengan meningkatnya jumlah kunjungan WNA ke Indonesia, Ronny mengakui bahwa sumber daya manusia (SDM) untuk tenaga imigrasi jauh dari cukup. Apalagi ditambah dengan pembangunan bandara internasional dan pembukaan jalur penerbangan langsung dari luar negeri ke Indonesia.
”Sampai saat ini, jumlah SDM kami mencapai 10.000 lebih. Untuk 2019, kami membutuhkan SDM hingga 20.000 guna mengatasi kebutuhan perkembangan wisatawan,” ujarnya. Ia berharap, kebutuhan ini dapat dijawab Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Evaluasi
Meskipun ada peningkatan jumlah kunjungan WNA ke Indonesia berkat fasilitas bebas visa, pemerintah tetap perlu mengevaluasi kebijakan ini secara berkala. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, saat dihubungi terpisah, mengatakan, aturan tentang fasilitas bebas visa kunjungan (BVK) memiliki kelemahan dari segi keamanan.
”Negara-negara penerima BVK harus dievaluasi. Negara yang warganya tidak mungkin berwisata atau banyak melakukan pelanggaran di sini dicoret saja,” ujarnya.
WNA yang masuk Indonesia dengan BVK dinilai mudah melakukan kecurangan-kecurangan, seperti memalsukan tiket pergi-pulang yang biasanya dicek petugas imigrasi. Belum ada kewajiban membawa dokumen rekening tabungan atau uang tunai dalam jumlah banyak seperti diatur Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2016 tentang Pembawaan Uang Tunai atau Instrumen Pembayaran Lain ke Dalam atau ke Luar Daerah Pabean Indonesia, juga menyulitkan pemeriksaan WNA yang kemungkinan kehabisan uang di Indonesia.
”Para pengambil kebijakan harus sadar bahwa saat ini Indonesia dianggap sebagai tempat untuk bisa mencari pekerjaan, berwisata dengan murah, bahkan dijadikan tempat untuk masuk negara tetangga seperti Australia secara ilegal,” ujarnya. (ERIKA KURNIA)