JAKARTA, KOMPAS - Penyerapan atau konsumsi biodiesel di dalam negeri terus meningkat seiring dengan kebijakan pemerintah melakukan percepatan program pencampuran solar dengan minyak sawit sebesar 20 persen atau program B20. Kendala teknis berupa tempat pencampuran dan penyimpanan secara bertahap mulai diatasi.
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono di Jakarta, Senin (7/1/2019). "Konsumsi biodiesel memang terus meningkat karena Presiden menginstruksikan percepatan kebijakan B20 sehingga berbagai pihak yang terlibat perlu bergerak cepat," kata Joko.
Konsumsi biodiesel meningkat, lanjut Joko, karena biodiesel juga digunakan untuk kepentingan pelayanan publik dan non pelayanan publik. Kendala teknis memang belum sepenuhnya teratasi, tetapi secara bertahap mulai diatasi.
Dari data Gapki, konsumsi atau penyerapan biodisel di pasar dalam negeri pada November 2018 mencapai 607.000 ton atau naik sekitar 17 persen dibandingkan konsumsi biodiesel pada Oktober 2018. Pada Oktober 2018, konsumsi biodiesel baru sebesar 519.000 ton dan pada September 2018 sebesar 402.000 ton.
Pada Agustus 2018, sebelum kebijakan percepatan penggunaan B20 dilakukan per 1 September 2018, konsumsi biodiesel hanya sebesar 290.000 ton.
Wakil Ketua Umum Gapki Togar Sitanggang mengungkapkan, masalah utama dalam pendistribusian solar dengan campuran minyak sawit sebesar 20 persen adalah ketersediaan dan kesiapan depo-depo Pertamina untuk pencampuran biodisel dan penyimpanannya.
Oleh karena itu, lanjut Togar, perlu difokuskan pada titik distribusi yang besar, seperti di Balikpapan, untuk depo pencampuran B20 dan penyimpanannya. Setelah dicampur, Pertamina dapat mendistribusikan produk B20 tersebut ke depo-depo Pertamina yang lain di berbagai wilayah.
Dengan kebijakan percepatan penggunaan B20, konsumsi biodisel per bulan diperkirakan mencapai 500.000 sampai 600.000 juta kilo liter. Dengan demikian, konsumsi biodiesel di dalam negeri per tahun diperkirakan mencapai 6 juta kilo liter.
Dengan penggunaan B20, pemerintah diperkirakan dapat menghemat devisa dari impor solar sekitar 4 miliar dollar AS. Kebutuhan solar di dalam negeri mencapai 33 juta kilo liter per tahun.
Terkait harga minyak sawit, Joko menambahkan, harga minyak kelapa sawit rata-rata pada November 2018 sebesar 473,6 dollar AS per metrik ton. Sepanjang November 2018, harga bergerak di kisaran 440 dollar AS sampai 512,50 dollar AS per metrik ton.
Diharapkan harga dapat naik di atas 500 dollar AS seiring dengan kebijakan pemerintah menghapuskan sementara pungutan ekspor minyak kelapa sawit. menunjukkan tren yang meningkat. Sebagai gambaran, untuk kontrak bulan Februari 2019, harga mencapai 520 dollar AS per metrik ton.
Joko menambahkan, sepanjang November 2018, kinerja ekspor minyak sawit mengalami penurunan. Harga minyak sawit yang rendah di pasar global tidak serta merta dapat mendongkrak pembelian minyak kelapa sawit oleh negara-negara pengimpor.
Sebagai gambaran, volume ekspor minyak kelapa sawit dan produk turunannya pada November 2018 sebesar 3,35 juta ton atau turun dibandingkan volume ekspor Oktober 2018 sebesar 3,22 juta ton. Penurunan ekspor itu, terjadi di beberapa negara tujuan ekspor, seperti China (20 persen), Uni Eropa (21 persen), Amerika Serikat (10 persen), dan Bangladesh (58 persen). Penurunan itu antara lain disebabkan masih tingginya stok minyak nabati di negara-negara tersebut.