JAKARTA, KOMPAS - Skema asuransi atau perlindungan usaha petambak dan pembudidaya ikan dinilai penting untuk menekan kerugian pelaku usaha perikanan akibat bencana.
Pasca Tsunami di Lampung dan Banten tanggal 22 Desember 2018, pasokan benur ke petambak rakyat di Lampung tersendat. Di wilayah tambak rakyat di Bumi Dipasena, Lampung, pasokan benur turun hingga 50 persen.
Anggota Biro Budidaya erhimpunan Petambak Pengusaha Udang Wilayah Lampung (P3UW-Lampung) Yohanes Kahno Waluyo, saat dihubungi di Jakarta, Senin (7/1/2018), mengemukakan, benur dari wilayah Kalianda umumnya dipasok dua kali setiap pekan, yakni hari senin dan kamis. Sebelum berlangsung tsunami, pasokan benur rata-rata 15 juta-25 juta ekor, namun saat ini anjlok menjadi 2 juta-10 juta ekor.
Akibat gangguan pasokan, saat ini petambak mengurangi tebar benur hingga 50 persen. “Saat ini, kami mengurangi jumlah benur yang ditebarkan, dari yang biasanya satu kolam tebar benur 50.000 ekor, sekarang tinggal 25.000-30.000 ekor,” katanya.
Untuk mengantisipasi bencana atau kerugian petambak, pihaknya saat ini telah memiliki skema cadangan resiko usaha (CRU), berupa penggantian total kerugian petambak.
Sementara itu, tambak-tambak skala intensif di Lampung tidak mengalami kendala pasokan benur. Menurut Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Sutanto, pihaknya belum menerima laporan kerusakan tambak dan gangguan pasokan benur pada tambak-tambak intensif dan semi intensif akibat tsunami. Tambak-tambak skala besar itu umumnya mengandalkan pasokan benur dari sentra-sentra produksi di Pulau Jawa.
“Kendala benur umumnya terjadi pada tambak-tambak masyarakat skala kecil dan menengah yang memperoleh pasokan benur dari Lampung,” ujar Iwan.
Untuk antisipasi kerugian akibat bencana, pemerintah menggulirkan program asuransi perikanan bagi pembudidaya ikan kecil (APPIK) sejak 2017. Jaminan asuransi mencakup proses produksi hingga panen. Hingga saat ini, sudah 12 perusahaan asuransi tergabung dalam APPIK.
Tahun 2017, tambak udang yang diasuransikan seluas 3.300 hektar untuk 2.004 pembudidaya ikan kecil yang tersebar di 37 Kabupaten/Kota di Indonesia. Tahun 2018, asuransi untuk pembudidaya ikan berkembang menjadi 5.000 ha dengan cakupan jumlah pembudidaya 6.914 orang. Per Oktober 2018, klaim asuransi yang diajukan sebesar Rp 676,15 juta atau 45,53 persen dari nilai premi yang dibayarkan tahun ini senilai Rp 1,4 miliar.
Mulai November 2018, jangkauan program asuransi perikanan meluas untuk 4 komoditas perikanan, yakni udang, nila, patin dan bandeng. Sasaran program APPIK adalah pembudidaya ikan kecil yang menerapkan teknologi sederhana dengan kepemilikan luas lahan budidaya air tawar mulai dari 200 m2 hingga 1 ha, menurut jenis komoditas.
Dari data KKP, total pembudidaya ikan saat ini sebanyak 3.740.528 orang. Potensi asuransi untuk komoditas udang, bandeng, patin dan nila tersebar di 10 provinsi dengan jumlah usaha budidaya yang sudah bersertifikat (CBIB) sebanyak 5.862 unit usaha.
Menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, bencana alam dapat menyebabkan pembudidaya ikan menderita kerugian yang cukup besar sehingga untuk usaha berikutnya tidak mempunyai modal lagi, bahkan bagi pembudidaya yang meminjam kredit bisa menyebabkan menimbulkan kredit macet.
Ia mengemukakan, Tsunami Palu dan Tsunami Selat Sunda menyebabkan kerusakan cukup parah, antara lain kerusakan kolam, tambak, sarana perbenihan dan kematian ikan massal. Hal ini diharapkan mendorong pelaku usaha mengakses asuransi, karena perikanan budidaya tidak terlepas dari pengaruh kondisi alam.
Direktur Operasi Ritel Jasindo Sahata L Tobing, mengemukakan, pihaknya sejauh ini belum menerima klaim asuransi dari pelaku usaha perikanan dan tambak udang pasca bencana Tsunami Lampung.