Kita bangga bahwa kajian peneliti Indonesia tentang sesar aktif Jawa diterbitkan di jurnal internasional. Kita apresiasi kegigihan ilmuwan Indonesia tersebut.
Karya Endra Gunawan dan Sri Widiantoro diterbitkan di Journal of Geodynamics. Karya Mudrik R Daryono, Danny H Natadwidjaja, Benjamin Sapiie, dan Phil Cummins terbit di Journal Technophysics edisi Januari 2019.
Bidang keilmuan yang mereka geluti, pada masa lalu, acap dipandang sebelah mata. Namun, kini, seiring meningkatnya literasi masyarakat akan ancaman bencana alam, khususnya gempa dan tsunami, pengetahuan itu menjadi ilmu yang vital. Di Pulau Jawa terdapat jalur patahan aktif yang berpotensi menimbulkan gempa skala besar. Perlu kita garis bawahi, sesar aktif itu ada di dua kawasan padat penduduk, yakni di selatan Jakarta dan utara Bandung.
Seperti dilaporkan harian ini, Senin (7/1/2019), kajian di atas harus mendapat perhatian serius untuk mitigasi bencana ke depan. Inilah yang kita mintakan perhatian kepada otoritas di wilayah yang di dalamnya ada sesar aktif.
Kajian tentang patahan kerak bumi itu tak disertai pernyataan kapan patahan itu akan bergerak dan menimbulkan bencana. Hingga saat ini, sains belum bisa meramalkan kapan gempa akan terjadi. Namun, informasi tentang aktifnya sesar, seperti diperlihatkan gerakan peregangan dan tekanan dilatasi (pengembangan), cukup untuk menjadi alasan bersiap diri.
Kita dituntut bersikap arif antisipatif. Informasi itu patut menjadi sinyal yang harus diperhatikan. Kita memercayai, dalam urusan menghadapi bencana alam, semakin dini semakin baik, semakin menyeluruh semakin baik.
Sinyal geologi itu mendapat penguatan urgensi mengingat sesar melalui daerah padat penduduk. Kota seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya menjadi daerah yang masuk dalam peta ancaman. Tanpa bermaksud menakut-nakuti atau membuat hidup menjadi tidak nyaman, persiapan harus dilakukan justru ketika masih ada waktu. Peribahasa mengatakan, sedia payung sebelum hujan, jangan sampai sesal di kemudian hari tiada berguna.
Untuk bersikap antisipatif memitigasi bencana, dibutuhkan penataan ulang, dengan biaya yang tidak kecil. Dalam skala riil, bisa jadi dalam konteks penataan ulang tata ruang, sebagian kota harus dipindahkan. Kekuatan banyak konstruksi dicek ulang. Namun, kita berpandangan, langkah dan upaya ini akan bisa mengurangi kerugian material dan korban jiwa.
Di sinilah dilema muncul. Ancaman gempa termasuk subtil, tak kasatmata, bahkan berbeda dibandingkan dengan letusan gunung api yang jelas tanda dan gejalanya. Apa yang disampaikan oleh ilmuwan dalam jurnal ilmiah itu harus kita terima sebagai informasi cukup untuk mengambil langkah mitigatif.
Otoritas di Jawa mungkin akan sulit diyakinkan, dibandingkan otoritas di Sumatera. Gempa di Jawa jarang. Namun, seperti kita baca dalam berita kemarin, jarangnya gempa di Jawa, termasuk di Jakarta, sebenarnya adalah waktu pengumpulan energi. Kian lama tidak gempa, potensi gempa (kuat) justru kian besar. Ahli kita belajar dan mendapat pencerahan dari alam agar kita bisa mendapat pelajaran dan kearifan.