JAKARTA, KOMPAS — Produksi daging sapi dan susu dalam negeri belum mencukupi kebutuhan nasional. Pemerintah perlu menjaga agar populasi di tingkat peternak terus tumbuh. Di samping itu, kepastian data sangat dibutuhkan sebelum memutuskan suatu kebijakan.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita, Selasa (8/1/2019), di Jakarta, mengatakan, kebutuhan daging nasional mencapai 665.000 ton atau setara 2,3 juta sapi. Dari kebutuhan tersebut, baru 67 persen yang bisa dipenuhi oleh sapi atau kerbau lokal.
”Berdasarkan peta jalan, pemerintah merencanakan 2026 sudah bisa ekspor daging sapi dengan proyeksi sapi kerbau sekitar 30 juta ekor. Itu pun dengan catatan populasi naik terus setiap tahun,” kata Ketut.
Berdasarkan data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, populasi sapi kerbau terus meningkat seiring dengan diadakannya program Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan (GBIB) dan Upaya Khusus Percepatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (Upsus Siwab). Program ini bertujuan agar petani ternak tidak hanya beternak secara sambilan, tetapi juga berorientasi profit.
Pada tahun 2015, populasi sapi dan kerbau berjumlah 17.285.284 ekor. Populasi sapi dan kerbau naik menjadi 18.291.447 ekor pada 2017. Meski demikian, belum semua populasi bisa diproduksi. Sebagian dari jumlah itu merupakan indukan atau sapi dan kerbau yang belum bisa dipotong.
”Pada 2018 lalu, kita impor 500.000 ekor atau setara 119.000 ton,” ujar Ketut.
Untuk menjaga peningkatan populasi, Kementerian Pertanian melakukan pengendalian pemotongan sapi betina produktif. Pada tahun 2017, sapi betina produktif yang dijagal berjumlah 17.446 ekor. Jumlah itu berhasil diturunkan menjadi 8.514 pada 2018.
Untuk menjaga peningkatan populasi, Kementerian Pertanian melakukan pengendalian pemotongan sapi betina produktif.
Selain daging, kebutuhan untuk susu segar pun masih impor. Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Ternak Fini Murfiani mengatakan, populasi sapi perah tahun 2018 sebesar 580.493 ekor, dengan jumlah produksi 990,37 ribu ton. Ini hanya memenuhi 21 persen kebutuhan susu nasional.
Mengacu pada cetak biru Persusuan yang diterbitkan Kementerian Koordinator Perekonomian, Indonesia menargetkan tahun 2025 kontribusi susu segar dalam negeri (SSDN) sebesar 60 persen.
”Untuk mewujudkan hal itu, Indonesia membutuhkan 1.334.142 sapi perah sehingga menjelang tahun 2015, dibutuhkan populasi sebanyak 753.649 ekor,” ujar Fini.
Untuk mengurangi laju impor, Kementerian Pertanian berupaya meningkatkan produksi susu melalui peningkatan populasi, peningkatan kualitas susu, dan perbaikan mutu bibit. Di samping itu, pencegahan pemotongan betina produktif juga diperlukan.
Akurasi data
Dihubungi secara terpisah, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa mengatakan, dalam jangka pendek, Indonesia akan terus mengimpor daging.
Menurut dia, pertumbuhan populasi sapi dan kerbau tidak sesuai dengan harapan. Dwi skeptis terhadap data kenaikan populasi yang dipaparkan Kementerian Pertanian.
”Naik tidaknya itu tergantung data. Data terkait populasi ini agak diragukan, apakah betul itu atau tidak. Kita punya pengalaman terkait data produksi padi (perbedaan data antara Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik),” ucapnya.
Dwi menyebutkan, ketidakpastian data pernah menimbulkan gejolak harga daging pada 2015. Pada tahun 2015, lanjutnya, Kementerian Pertanian menyatakan populasi mencukupi sehingga kuota impor dikurangi. ”Pada Mei 2015 waktu itu, harga daging sudah tidak terkendali,” katanya.
Dwi menuturkan, kepastian data merupakan kunci untuk membuat kebijakan ekspor atau impor suatu komoditas. Selama ini, kebijakan terkait impor bersifat intuitif. ”Akhirnya, keputusan untuk impor hanya didasarkan pada pergerakan harga atau keinginan pemerintah untuk menurunkan harga,” ujarnya.
Dwi melanjutkan, kunci dari usaha ternak adalah menjaga harga jual tetap memadai di tingkat peternak. Tanpa hal itu, peternak tidak akan konsisten untuk menumbuhkan populasi ternaknya.
”Ini juga berlaku untuk peternak sapi perah. Beberapa jaringan kami memutuskan untuk pindah ke usaha penggemukan sapi karena usaha sapi perah dinilai tidak ekonomis,” kata Dwi. (INSAN ALFAJRI)