Publik Menantikan Program Capres yang Terukur
JAKARTA, KOMPAS — Publik memberikan perhatian yang tinggi terhadap kampanye calon presiden dan wakil presiden yang lebih programatik. Hal itu antara lain terlihat dari hasil kajian Litbang Kompas yang menunjukkan tingginya persentase responden yang merasa memerlukan informasi terkait dengan visi dan misi capres-cawapres, termasuk kegiatan mereka selama ini.
Hasil survei Litbang Kompas juga menunjukkan program yang paling penting atau menarik menurut responden dari pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin ialah pembangunan infrastruktur (24,55 persen) dan ekonomi (8,98 persen). Sementara dari pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, responden menganggap penting program peningkatan ekonomi (18,56 persen) dan perbanyakan lapangan kerja (3,39 persen).
Berkaca dari data tersebut, Guru Besar Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti, Senin (7/1/2019), yang dihubungi dari Jakarta, menuturkan, masyarakat menginginkan informasi atau narasi yang memadai tentang arah perkembangan bangsa ini setelah Pemilu 2019 digelar. Program-program yang lebih terstruktur, terukur, detail, dan konkret menjadi kebutuhan publik untuk meyakinkan mereka terhadap pilihan pasangan calon mereka.
”Sampai sekarang, tim kampanye kedua belum pihak belum banyak bicara program secara konkret. Kalau untuk visi-misi kan relatif sama karena telah dinyatakan dalam empat tujuan bernegara yang terkandung di dalam UUD 1945. Namun, untuk mencapai itu, program apa yang akan dilakukan belum kelihatan. Sayup-sayup tim pasangan calon nomor urut 01 mewacanakan revisi Nawacita. Tetapi mau direvisi seperti apa juga belum jelas selain bahwa Pak Jokowi selanjutnya akan fokus pada pengembangan SDM. Sementara untuk pasangan calon nomor urut 02, ekonomi menjadi fokusnya, tetapi ekonomi yang seperti apa juga belum jelas,” kata Ramlan.
Sebagai sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, menurut Ramlan, wajar jika publik berharap kepada presiden untuk menentukan arah perkembangan bangsa dan negara ini selanjutnya. Harapan ini seharusnya dijawab dengan paparan program-program dan kebijakan yang terukur dan konkret, tidak sekadar slogan.
”Untuk pemberantasan korupsi dan tuntutan menurunkan angka kemiskinan, misalnya, semua orang bisa bicara soal itu. Tetapi bagaimana korupsi di Indonesia itu bisa di atas dan caranya seperti apa. Kalau dikatakan ingin menurunkan kemiskinan, harus dipaparkan apakah kemiskinan di Indonesia itu merupakan kemiskinan absolut ataukah relatif, serta bagaimana cara mengatasinya, itu yang belum tergambarkan,” kata Ramlan.
Mengemukanya pembangunan infrastruktur dan ekonomi sebagai dua informasi yang dianggap penting oleh publik, kata Ramlan, tidak bisa dipandang sebagai dua hal yang bertolak belakang. Narasi untuk membawa dua tema itu merasuk ke benak dan pemahaman publik pun tidak sekadar memaparkan capaian dan target di permukaan, misalnya berapa panjang kilometer jalan dan jembatan yang dibangun. Namun, publik ingin tahu soal dampak dari pembangunan itu ke depannya. Apakah dengan pembangunan infrastruktur itu akan mengungkit ekonomi atau memudahkan transportasi barang dan manusia.
Berapa panjang jalan dan jembatan atau berapa banyak bendungan itu hanyalah ouput, sedangkan yang diperlukan oleh publik saat ini ialah outcome atau hasil dan dampak yang bisa mereka rasakan atas pembangunan infrastruktur itu. Kalau bendungan dibangun, berapa banyak sawah yang bisa dialiri air irigasi. Dengan penyampaian yang tidak sekadar soal output, tetapi juga outcome, narasi yang dibangun para kandidat itu akan berdimensi ekonomi.
Publik yang tertarik untuk mengetahui rekam jejak, agama, dan latar belakang atau keturunan dari capres-cawapres, menurut Ramlan, bisa dipandang juga bagian dari upaya publik untuk mengetahui integritas pribadi kandidat. Pertanyaan publik mengenai informasi yang serupa juga ada di negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat. Publik pada umumnya menginginkan presiden dan wapres berasal dari keluarga yang baik, berperilaku jujur, dan integritasnya terjaga.
”Orang Amerika Serikat, misalnya, juga ingin presidennya rajin ke gereja, atau taat beragama, keluarganya harmonis, dan sebagainya kendati tidak semua warga negara AS profilnya seperti itu. Hal itu wajar saja,” katanya.
Masyarakat parokial
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat, mengatakan, tim kampanye kedua kandidat memang belum mampu menampilkan narasi kampanye yang susbtantif dan berorientasi program. Kendati demikian, di satu sisi perlu juga diakui masih ada masyarakat yang belum cukup mendapatkan pendidikan politik dan pola pikirnya masih parokial.
”Capres-cawapres mengutamakan kampanye yang tidak substantif itu juga antara lain karena membaca masyarakat kita yang masih belum berorientasi program. Capres dengan program kerja yang baik rupanya belum menjadi jaminan ia akan terpilih. Orientasi program agaknya hanya bisa ditangkap dari kalangan masyarakat menengah ke atas. Namun, untuk sebagian besar masyarakat kita, program saja tidak menentukan pilihan politik mereka dalam pemilu,” kata Syarif.
Menurut Syarif, dalam kondisi masyarakat yang parokial, pertimbangan visi-misi dan program belum menjadi pertimbangan utama. Karena itu, sisi figur, sosok, dan personal dari kandidat masih menjadi andalan bagi setiap tim kampanye untuk meraih simpati dan suara. Sebagai contoh, Jokowi sebagai figur dicitrakan dekat dengan rakyat dan suka blusukan. Di sisi lain, Prabowo digambarkan sebagai tokoh militer yang tegas, nasionalismenya tinggi, antiasing, dan sebagainya. Adapun Sandi dicitrakan sebagai pengusaha muda yang berhasil, sedangkan Ma’ruf Amin mewakili citra ulama.
Untuk politik praktis, dalam jangka pendek, strategi menjual profil atau sosok itu memang lebih signifikan memengaruhi masyarakat yang parokial. Namun, dalam jangka panjang, untuk membangun demokrasi yang sehat, penonjolan sosok atau profil calon itu sudah harus mulai dikurangi. Program semestinya ditonjolkan sebagai tolok ukur untuk memilih pemimpin.
Diakui Syarif, saat ini para elite politik belum bergeser dari strategi politik menjual sosok atau profil kandidat. Kampanye substantif dengan menonjolkan program belum cukup dilirik sehingga demokrasi yang semestinya menjadi sarana adu program, atau visi-misi yang diturunkan menjadi program yang terukur, belum menjadi keutamaan mereka.
Anggota KPU, Pramono Ubaid, mengatakan, momen debat pada 17 Januari 2019 diharapkan bisa menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas narasi kampanye para kandidat. Selain berbicara mengenai ekonomi dan infrastruktur, kandidat juga ditarik untuk berbicara mengenai beragam tema, seperti hukum, hak asasi manusia, korupsi, dan terorisme.
”Debat nanti akan menjadi kesempatan bagi para kandidat untuk mengelaborasi dan memaparkan program-program mereka yang substantif di berbagai bidang. KPU memfasilitasi debat dengan tema-tema berbeda dalam setiap kali debat sehingga tujuan kampanye, yakni untuk meyakinkan pemilih melalui pemaparan program dan visi-misi sebagaimana amanat UU Pemilu, bisa terpenuhi,” ujar Pramono.