JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah mempersempit ruang korupsi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi penggunaan teknologi informasi. Langkah ini menyasar tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, serta pertanggung-jawaban program pemerintah.
Deputi II Kantor Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho dalam diskusi yang digelar Kantor Staf Kepresidenan di Jakarta, Senin (07/01/2019), menyatakan, korupsi sistemik telah mengakar dalam tata kerja pemerintah. Untuk memberantasnya, diperlukan usaha yang sistemik pula.
Selain penegakan hukum oleh aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memberikan efek jera, menurut Yanuar, pemerintah juga membangun sistem guna mempersempit ruang korupsi. Hal ini dilakukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi penggunaan teknologi informasi di tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, sampai pertanggung-jawaban program pemerintah.
”Penggunaan teknologi informasi akan sangat efektif untuk meminimalisasi korupsi,” kata Yanuar.
Pemerintah juga membangun sistem guna mempersempit ruang korupsi. Hal ini dilakukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi penggunaan teknologi informasi di tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, sampai pertanggung-jawaban program pemerintah
Sejalan dengan hal itu, Yanuar menjelaskan, pemerintah telah menerbitkan tiga payung hukum dalam tiga tahun terakhir. Pertama adalah Instruksi Presiden (inpres) Nomor 7 Tahun 2015. Kedua adalah Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016. Keduanya sama-sama mengatur tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Adapun payung hukum ketiga adalah Peraturan Presiden (perpres) Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
Dalam Inpres Nomor 7 Tahun 2015, 31 dari 96 aksi anti korupsi dilakukan dengan cara mendorong pemanfaatan teknologi informasi. Ini dilakukan mulai pada layanan paspor secara dalam jaringan (daring), pengadaan barang dan jasa secara daring, hingga modernisasi teknologi informasi untuk mendorong Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Dalam Inpres Nomor 10 Tahun 2016, 9 dari 31 aksi melawan korupsi dilakukan dengan cara memanfaatkan teknologi. Di antaranya adalah pertukaran data perpajakan, integrasi perencanaan dan penganggaran, serta implementasi transaksi nontunai di seluruh kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah.
Adapun terkait dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2018, pemerintah memperluas penggunaan teknologi informasi di sejumlah prosedur. Sebagai turunannya, lima menteri terkait menandatangani Surat Keputusan Bersama yang menetapkan 11 aksi pencegahan korupsi.
Sebanyak sembilan di antaranya hanya akan sukses jika menggunakan teknologi informasi. Contohnya adalah Online Single Submission, kebijakan satu peta, dan beneficial ownership. Contoh lainnya adalah integrasi data impor pangan, integrasi perencanaan dan penganggaran berbasis elektronik.
”Dari tiga payung hukum tersebut, porsi penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi dalam aksi pencegahan korupsi meningkat, dari 30 persen pada 2015 menjadi 81 persen di 2018,” kata Yanuar.
Parpol dan politisi
Yanuar meyakini, pemberantasan korupsi akan berjalan lebih efektif dengan memanfaatkan teknologi informasi dalam berbagai prosedur pemerintahan dan layanan publik. ”Teknologi membuat layanan publik makin cepat mudah, dan murah, Dan tentu saja, bebas pungli dan korupsi,” kata Yanuar.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Rhenald Kasali sebagai panelis lain dalam diskusi tersebut, menyatakan, pemanfaatan teknologi informasi akan efektif mempersempit ruang korupsi. Sejumlah langkah yang ditempuh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir sudah pada jalur yang benar.
Namun demikian, itu tidak cukup. Menurut Rhenald, langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah kerja bersama. Sampai saat ini, area strategis yang belum banyak melakukan reformasi adalah partai politik dan politisi.
”Para politisi dan partai politik harus berbesar hati untuk mentransformasi diri,” kata Rhenald.