JAKARTA, KOMPAS — Upaya masyarakat untuk mendapatkan proses peradilan yang berimbang merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling banyak muncul sepanjang tahun 2018. Sistem pengawasan eksternal terhadap lembaga peradilan dan perbaikan sistem hukum acara pidana perlu dibangun untuk mengatasi hal ini.
Hal tersebut mengemuka dalam pemaparan Laporan Tahun 2018 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Gedung YLBHI, Jakarta, Selasa (8/1/2019). YLBHI menghimpun data dari 15 kantor perwakilan di seluruh Indonesia selama tahun 2018.
YLBHI menangani 3.455 kasus sepanjang tahun 2018. Jumlah ini meningkat dari 2.797 kasus tahun 2017. Dari ke-3.455 kasus tersebut, sebanyak 380 merupakan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kasus yang paling sering dilaporkan berkaitan dengan hak mendapat proses peradilan yang adil sebanyak 144 kasus, disusul hak atas pekerjaan (142 kasus).
Kepala Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary Herwati mengatakan, salah satu penyebab banyaknya proses peradilan yang tidak berimbang adalah keberadaan sejumlah pasal dalam beberapa undang-undang yang berpotensi mengkriminalisasi seseorang. Beberapa di antaranya adalah Pasal 27 Ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan sejumlah pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-undang lain yang menurut YLBHI menjadi sumber masalah adalah UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pasal-pasal tersebut umumnya dijadikan dasar lembaga peradilan untuk menahan seseorang. Padahal, berdasarkan temuan YLBHI, tidak semua pasal tepat dijadikan dasar hukum untuk membawa perkara tersebut ke persidangan.
”Ini menandakan, kesalahan penanganan sebuah kasus sudah muncul sejak proses awal, yaitu penyidikan kepolisian. Kesalahan akan memengaruhi proses selanjutnya di kejaksaan hingga pengadilan,” tuturnya.
Beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinilai dapat mengakibatkan masyarakat tidak mendapatkan peradilan yang adil.
YLBHI mencatat minimnya akuntabilitas penentuan tersangka, misalnya tidak ada batasan waktu bagi kepolisian untuk meningkatkan status dari saksi ke tersangka. Hal ini membuat warga kerap dipanggil berkali-kali oleh penyidik untuk menjalani pemeriksaan.
Perlu revisi
Ketua Umum YLBHI Asfinawati mengatakan, isi KUHAP perlu direvisi dengan menambahkan sejumlah ketentuan. Beberapa hal yang dapat ditambahkan adalah waktu persidangan setelah penetapan seseorang sebagai tersangka agar proses peradilan tidak terus tertunda.
Perancangan sistem pengawasan di luar badan peradilan juga dapat menjadi solusi lain. Kehadiran sebuah lembaga eksternal yang independen memungkinkan laporan masyarakat ditindaklanjuti dengan cepat dan menyeluruh. Hal ini diharapkan dapat memperbaiki kinerja lembaga peradilan serta memastikan masyarakat mendapat proses peradilan yang berimbang. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA)