BANDUNG, KOMPAS - Tinggal di daerah berisiko atau punya riwayat bencana tidak berarti diikuti kesadaran meminimalkan dampak. Masyarakat di sejumlah daerah menyatakan tidak tahu adanya risiko, apalagi meminimalkan dampak.
Warga di sekitar kawasan sesar Lembang di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, misalnya, awam terkait risiko bencana yang bakal timbul. Eceng (35), warga Batuloceng, Desa Sunten Jaya, Kecamatan Lembang, mengatakan, belum tahu bahaya sesar Lembang. Selama ini tak ada wakil pemerintah atau para ahli yang memberikan pemahaman soal itu. Padahal, rumahnya tak jauh dari salah satu sesar besar itu.
Tokoh masyarakat Batuloceng, Rahim Asyik (52), mengatakan, sosialisasi bahaya sesar Lembang sangat minim. Padahal, banyak kabar bahwa sesar Lembang berbahaya. ”Kami mungkin korban paling dekat apabila bencana terjadi. Namun, sepertinya kami juga yang paling minim ilmu. Jangan warga terus dibuat cemas,” katanya.
Kecemasan warga Bandung terlihat saat terjadi gempa bermagnitudo 5,4, Selasa (8/1/2019) sore. Gempa ini satu dari enam gempa dalam 24 jam di Jabar. Meski pusat gempa 163 kilometer dari Kota Bandung, warga yang berada di bangunan bertingkat berhamburan ke luar.
”Saya baru baca di media massa bahwa sesar Lembang berbahaya. Jangan-jangan gempa kali ini memengaruhi aktivitas sesar Lembang,” kata Andri Permana (56), warga Cibeunying Kaler, Kota Bandung.
Di sisi lain, sejumlah lembaga dan ahli telah melakukan sosialisasi. ”Kami berulang kali sosialisasi keberadaan jalur sesar Lembang ini. Tahun 2016, kami mengundang berbagai pemangku yang daerahnya terkena jalur sesar ini, termasuk kepala desa, pemilik fasilitas pendidikan, dan kantor pemerintahan,” kata peneliti Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mudrik R Daryono.
Hanya saja, implementasi kajian pada kebijakan dan tata ruang masih menjadi tantangan. Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah Sarwa Pramana mengatakan, kesadaran menjadi aspek terpenting dalam antisipasi dampak bencana. Edukasi dan sosialisasi bagi masyarakat di daerah rawan bencana mutlak dilakukan.
Di Jateng, risiko bencana berupa banjir, longsor, kekeringan, tsunami, gempa, dan erupsi gunung berapi. Daerah rawan longsor antara lain Brebes, Karanganyar, Banjarnegara, Wonosobo, Temanggung, Pekalongan, dan Brebes. Adapun daerah rawan tsunami meliputi Cilacap, Kebumen, Purworejo, dan Wonogiri.
Shelter bencana
Di Banda Aceh, bangunan penyelamat (shelter) dari tsunami dijadikan pusat kegiatan warga, seperti tempat pelatihan, pertemuan, dan olahraga.
Gedung penyelamat di Desa Alue Deah Teungoh, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, dibuka untuk umum. Pengunjung dapat menaiki gedung itu hingga lantai atas. Di lantai dasar ada lapangan bulu tangkis dan di lantai dua ada ruang untuk kegiatan kerajinan ibu-ibu.
Di Desa Deah Baro, Kecamatan Meuraxa, juga demikian. Shelter untuk kegiatan warga desa. Bahkan, satu ruangan dijadikan kantor kepala desa.
Beberapa warga familier dengan shelter. ”Kalau gempa dan tsunami, kami diingatkan naik ke gedung ini,” kata Rina Maulina (30).
Di Malang, Jawa Timur, tidak ada satu shelter pun di kawasan pantai selatan sepanjang 150 kilometer. Papan peringatan rawan tsunami di salah satu pantai malah dirusak.
Sekretaris BPBD Kabupaten Malang Bagyo Setiono mengatakan, BPBD pernah mengajukan pembangunan shelter, tetapi belum terealisasi.(CHE/AIN/WER/WHO/VDL/SEM/DIT/AIK)