Literasi Digital dan Perbaikan Regulasi Cegah Penyebaran Hoaks
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Upaya pemberantasan peredaran hoaks di masyarakat jangan semata dilakukan pada satu aspek seperti penegakan hukum. Peningkatan literasi digital dan perbaikan regulasi juga perlu dilakukan sebagai langkah preventif agar kasus serupa tak terjadi lagi.
Direktur Center for Digital Society Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Dedy Permadi, yang dihubungi dari Jakarta, RAbu (9/1/2019), mengatakan, permasalahan hoaks tidak dapat diselesaikan pada satu bagian saja. Proses penegakan hukum pada pembuat dan penyebar hoaks merupakan penanganan hilir masalah, yang sebenarnya bisa ditekan jika upaya preventif pada hulu permasalahan berjalan baik.
Salah satu contoh kasus penyebaran hoaks di media sosial yang memicu keresahan adalah kabar bohong ada 7 kontainer dari China berisi surat suara yang sudah dicoblos di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, akhir pekan lalu. Polisi sudah menangkap BBP, yang membuat hoaks tersebut, dan menetapkannya sebagai tersangka.
Salah satu langkah pencegahan yang dilakukan, kata Dedy, adalah peningkatan literasi digital. Pendidikan kecakapan digital perlu dilakukan kepada seluruh lapisan lapisan masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga harus dirancang berkelanjutan mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga pegawai di lingkungan swasta atau pemerintah.
Pendidikan formal
Dedy mencontohkan pendidikan literasi digital di sejumlah negara seperti Australia, Selandia Baru, China, Amerika Serikat, dan Kanada telah diintegrasikan dalam pendidikan formal di sekolah. Anak-anak sudah diperkenalkan pada jenis-jenis berita palsu dan cara mengatasinya sejak dini.
"Dengan diedukasi sejak dini tentang hoaks, mereka akan memiliki kecakapan menggunakan media sosial dan merespons isi dalam sebuah unggahan dengan kritis," katanya.
Hal senada juga disampaikan dosen Ilmu Komunikasi Universitas UPN Veteran, Yogyakarta, Senja Yustitia. Menurutnya, ketegasan lembaga peradilan dalam menindak kasus hoaks tidak akan berarti bila masalah ini tidak dihentikan sebelum bergulir.
Program literasi digital tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh anggota masyarakat. Setiap individu harus menyadari bahwa kebijakan pemerintah akan berjalan lebih optimal bila diiringi dengan kesadaran kolektif warga untuk turut terlibat dalam usaha ini.
Selain itu, regulasi yang jelas dan komprehensif dapat meminimalkan penyebaran hoaks di masyarakat. Salah satu hal yang harus dicapai adalah penyamaan standar terkait konten-konten yang beredar di media sosial.
Standar regulasi
Dedy menyatakan, sejauh ini masih ada perbedaan standar antara regulasi yang diberlakukan pemerintah dan yang diterapkan penyedia platform media sosial seperti Facebook dan Twitter. Ketiadaan standar dapat dimanfaatkan pembuat hoaks untuk menyebarkan berita-berita bohong. Konten yang dinilai negatif oleh pemerintah belum tentu dinilai serupa oleh penyedia platform media sosial.
Peneliti Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Dedi Helsyanto, menyarankan ada peraturan khusus tentang penggunaan media sosial di Indonesia. Pembuatan kebijakan ini perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, penyedia layanan, masyarakat sipil, hingga akademisi yang kompeten.
Peraturan dapat mengatur hal-hal yang belum ada dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seperti jenis-jenis hoaks serta turunannya hingga ketentuan penyampaian pendapat untuk setiap kalangan atau profesi.
"Harus disesuaikan juga dengan kondisi sosial budaya di Indonesia. Jangan sampai peraturan ini malah mencederai kebebasan berekspresi masyarakat," kata Dedi. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA)