JAKARTA, KOMPAS — Penetrasi internet dan media sosial terhadap masyarakat semakin kuat dan merata. Survei Indikator menunjukkan, ada kenaikan pemilih Indonesia yang mengikuti berita politik lewat internet dibandingkan media arus utama. Di jagat dunia maya ini, elektabilitas pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul, tetapi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno lebih kompetitif.
Hasil survei Indikator yang dilakukan pada 16-26 Desember 2018 terhadap 1.220 responden di 34 provinsi menunjukkan, 49,8 persen responden intens menggunakan internet dalam satu bulan terakhir. Pemilih yang mengonsumsi berita politik lewat internet juga meningkat tiga kali lipat dari sebelumnya.
Pada Maret 2014, hanya 7 persen responden yang setiap hari atau hampir setiap hari memilih mengikuti berita politik lewat internet. Per Desember 2018, jumlah itu meningkat menjadi 22 persen. Sementara itu, tren penggunaan saluran media arus utama untuk mengonsumsi berita politik, seperti televisi, koran, dan radio, semakin turun dari tahun ke tahun.
”Ini fenomena yang tidak lagi didominasi orang Jakarta. Internet semakin luar biasa memfiltrasi media komunikasi pemilih menjelang pemilu,” kata Direktur Eksekutif Indikator Burhanudin Muhtadi saat memaparkan hasil survei Indikator ”Media Sosial, Hoaks, dan Sikap Partisan dalam Pilpres 2019” di Jakarta, Selasa (8/1/2019).
Di jagat dunia maya ini, percakapan politik seputar Pemilu 2019 sangat intens terjadi serta membentuk kelompok-kelompok pemilih dengan sikap politik tertentu.
Survei Indikator menunjukkan, di kalangan responden pengguna internet dan media sosial, Jokowi-Ma’ruf unggul dengan elektabilitas 52 persen, sementara Prabowo-Sandiaga 39 persen. Meskipun unggul, elektabilitas Jokowi ternyata masih lebih tinggi di kalangan responden non-pengguna internet, yakni 57 persen.
Sementara itu, Prabowo-Sandiaga lebih kompetitif di kalangan pengguna internet daripada di kalangan responden yang tidak menggunakan internet. Di kelompok non-pengguna internet, elektabilitas Prabowo-Sandiaga lebih rendah, yaitu 31 persen. Burhanudin mengatakan, itu karena koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga lebih intens berkampanye di media sosial dibandingkan Jokowi-Ma’ruf.
”Perlu diakui, partai politik penguasa medsos itu adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Gerindra,” kata Burhanudin.
Secara umum, tingkat penetrasi internet terus meningkat. Mayoritas responden, sebanyak 67,4 persen, menggunakan internet sampai beberapa jam dalam sehari. Sebanyak 11,7 persen responden mengaku menggunakan internet setengah jam sampai satu jam dalam sehari. Sisanya berkisar dari hanya menggunakan internet sekali dalam sehari hingga kurang dari sebulan sekali.
Dari semua aplikasi pesan instan yang ada, Whatsapp paling banyak digunakan. 90 persen pengguna internet menggunakan Whatsapp dengan tingkat penetrasi hingga 77 persen setiap hari atau setiap hari. Sementara, aplikasi media sosial yang penggunanya paling banyak, sekitar 82 persen, adalah Facebook.
Bahaya disinformasi
Meningkatnya penggunaan media sosial sebagai patokan mencari informasi politik ini menyimpan ancaman tersembunyi. Burhanudin mengatakan, dibandingkan saluran media massa utama, paparan isu personal seputar capres-cawapres lebih banyak terakses kalangan pengguna internet.
Beberapa isu personal itu mengalihkan perhatian publik dari hal substantif, seperti visi-misi dan program kerja pasangan capres-cawapres. Sejumlah isu yang masih banyak dibicarakan di medsos adalah tuduhan Jokowi terlahir dari orangtua non-Muslim, Jokowi beretnis Tionghoa, kebangkitan komunisme, dan keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis 1997-1998.
Medsos juga menjadi ladang subur bagi beredarnya disinformasi atau kabar palsu, baik yang disengaja untuk membuat gaduh maupun yang tidak disengaja, akibat ketidaktelitian menyebar informasi.
”Kelompok pengguna medsos sangat kritis dan aktif dalam merespons persoalan sehingga rentan menimbulkan kegaduhan. Lebih parah lagi, kegaduhan ini diamplifikasi saluran media massa arus utama,” kata Burhanudin.
Meskipun gaduh, pengajar Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, Kuskridho Ambardi, menilai percakapan di dunia maya yang sarat disinformasi dan argumentasi emosional sebenarnya tidak banyak memengaruhi menggoyah preferensi atau ”iman” politik seseorang. Sebab, mayoritas pemilih yang gaduh di medsos sudah memiliki sikap politik yang ajek.
Internet menjadi ruang gema (echo chamber), fenomena yang mana pengguna media sosial dengan sikap politik sama terkungkung dalam lingkungan berpemikiran serupa. Dalam pola komunikasi seperti ini, hoaks bisa dianggap sebagai fakta karena terus dibicarakan dan diyakini mayoritas orang di lingkungan terbatas itu.
”Jadi bukan media sosial memengaruhi pilihan politik warganet, melainkan pilihan politik memengaruhi perilakunya bermedia. Orang akan mencari dan percaya informasi yang cocok dengan pandangan dan pilihannya,” kata Kuskridho.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.