JAKARTA, KOMPAS — Langkah reformasi logistik yang berupaya memangkas waktu bongkar muat peti kemas di pelabuhan belum sepenuhnya dirasakan oleh sopir truk. Hingga Rabu (9/11/2019) sore, sopir truk masih harus menunggu berjam-jam saat proses bongkar muat barang.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada Selasa (8/1/2019) menguji waktu bongkar muat barang pada proses pre-clearance, atau penyimpanan dan penyiapan dokumen peti kemas. Hasilnya, waktu kegiatan tersebut berkurang menjadi 0,81 hari dari 2-3 hari.
Jamin (27), sopir truk asal Bogor, pada Rabu sore justru mengalami keterlambatan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Truk yang ia kendarai harus menunggu sekitar dua jam karena alat untuk bongkar muat sedang bermasalah.
Jamin mengatakan, proses bongkar muat sebenarnya hanya memakan waktu sekitar 30 menit hingga 60 menit. Hal yang kadang membuat terlambat biasanya karena keterbatasan jumlah alat berat saat bongkar muat barang.
"Dari segi pengambilan peti kemas sebenarnya sudah sangat terbantu dengan sistem digital. Namun, keterlambatan biasanya disebabkan oleh proses bongkar muat yang belum rampung," kata Jamin yang telah menjadi sopir truk sejak 2016.
Sopir truk lainnya, Jajat (43), mengatakan bahwa efisiensi waktu pengangkutan di pelabuhan tidak mungkin terwujud, bila pungutan liar dan kemacetan masih menerpa para sopir.
Ia menyebutkan, sopir truk pengangkut peti kemas saat ini cenderung menghindari kemacetan di kawasan Tol Cikunir menuju ke arah Cikampek. Sebab, penumpukan kendaraan di sana bisa menghambat kendaraan hingga 5-6 jam.
"Saya sudah lama tidak lewat jalur tol. Justru kalau lewat jalur bawah (melalui Jalur Pantura) sampainya bisa hanya sekitar 3 jam," kata Jajat yang menjadi sopir selama 25 tahun tersebut.
Hambatan itu setidaknya turut memengaruhi pengeluaran untuk bahan bakar solar. Bila di tahun 2016 biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 200.000 untuk pergi-pulang, saat ini ia mengeluarkan biaya Rp 350.000 untuk rute yang sama.
Sementara itu, Asdi (30), sopir yang rutin mengarungi kemacetan Tol Cikampek, bisa mengeluarkan Rp 450.000 hanya untuk bahan bakar solar. Hal itu tidak hanya membuat dirinya rugi biaya, tetapi juga rugi waktu.
Kerugian waktu itu dialami Yaman (28) saat menuju ke Kawasan Industri di Karawang, Jawa Barat. Peti kemas yang sampai malam hari di kawasan industri, baru akan dibongkar muat saat pagi, sehingga sopir harus menginap di pabrik tersebut.
Pungutan liar
Sopir-sopir tersebut juga mengeluhkan pungutan liar yang dialami selama perjalanan. Asdi mengatakan, ia selalu dibebani pungutan liar saat menuju ke Pasar Beras Induk Cipinang, Jakarta Timur.
"Tiap keluar dari Tol Jatinegara, tiba-tiba ada sepeda motor yang mengawal truk saya. Sesampainya di Pasar Induk, tiba-tiba saya dimintai uang Rp 40.000. Untuk keamanan katanya," tutur Asdi.
Tidak hanya itu, Pelabuhan Tanjung Priok juga menerapkan pungutan semacam itu. Yaman menceritakan, dari pintu masuk, survey kendaraan masuk, dan satpam keluar, masing-masing dikenakan Rp 2.000. Sementara itu, untuk bongkar muat mereka pun dimintai biaya Rp 20.000.
"Bila diakumulasi dengan ribuan kendaraan yang bongkar muat di JICT 1, nilainya mungkin jadi besar sekali," kata Yaman.
PT Pelabuhan Indonesia II sebagai pengelola kawasan telah menerapkan sistem pengaduan digital untuk hal tersebut (Kompas, 9/5/2018). Namun, belum semua sopir truk yang mengetahui adanya hal tersebut.