JAKARTA, KOMPAS - Debat calon presiden dan calon wakil presiden menjadi salah satu tolok ukur bagi publik dalam menilai kualitas masing-masing pasangan calon. Adu argumen dalam debat dan spontanitas menjawab dari pasangan calon dinilai dapat mempengaruhi pemilih mengambang atau swing voters dan pemilih yang belum memutuskan (undecided voters).
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto di Jakarta, Rabu (9/1/2019), mengatakan, di negara-negara demokrasi yang menggelar pemilu, debat menjadi sangat penting untuk memverifikasi gagasan atau program secara lebih jelas. Khususnya, kesiapan mental dan orientasi tindakan ke depan jika pasangan calon terpilih dalam pemilu dan berkuasa.
“Debat capres itu penting untuk diadakan karena membangun dialektika atas program dan gagasan yang dimiliki para capres. Ini menjadi semacam momentum untuk uji publik calon pemimpin nasional lima tahun ke depan,” ujar Gun Gun.
Menurut dia, debat juga penting untuk pendidikan politik warga. Masyarakat menjadi mengetahui dan bisa mempertimbangkan di antara pasangan calon yang lebih layak menjadi pemimpin. Meskipun, biasanya debat lebih banyak mempengaruhi mereka yang belum menentukan pilihan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute Karyono Wibowo mengatakan, hasil debat bisa mempengaruhi pemilih mengambang dan pemilih yang belum memutuskan sehingga masing-masing pasangan calon berusaha untuk tampil debat dengan sempurna.
Ada kecenderungan animo publik untuk menyaksikan debat capres semakin meningkat. Hal itu menjadi indikator hasil debat bisa mempengaruhi pilihan.
“Kualitas debat kandidat berpotensi memantapkan pemilih ragu-ragu. Di sisi yang lain, juga semakin memantapkan pemilih loyal,” ucapnya.
Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Kelompok diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) Kunto Adi Wibowo. “Manusia mengevaluasi orang mayoritas dari sisi visual sehingga efek debat di televisi sangat besar untuk mempengaruhi pilihan.”
Esensi debat
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya menyampaikan, karakter kampanye dan debat di Indonesia masih menggunakan bahasa yang santun dan memuji. Padahal di negara maju, esensi debat adalah saling menyerang.
“Seharusnya para pasangan calon saling membuka rekam jejak dan membongkar visi misi serta program. Jangan malah saling menjatuhkan dengan menghina dan menyebarkan berita bohong tentang lawan,” kata Yunarto.
Salah satu indikator bahwa suatu negara sudah matang dalam berdemokrasi adalah kampanye negatif (negative campaign). Ia mencontohkan, peserta debat capres di Amerika Serikat bersikap saling menyerang. Mereka saling membuka data dan fakta di lapangan untuk mengalahkan lawannya dalam debat.
Bocoran pertanyaan
Format pertanyaan pada debat capres kali ini berbeda dengan sebelumnya. Pertanyaan terbuka yang telah disusun tim panelis akan disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada para kandidat.
Menanggapi hal tersebut, Gun Gun menuturkan, KPU sebaiknya jangan membuat debat menjadi setengah hati dengan menyenangkan semua pihak. Debat itu harus lebih asli, sehingga kandidat cukup tahu tema utama dan dibuat kesepakatan teknis soal. Misalnya, tidak bertanya dengan istilah- istilah bidang tertentu yang sangat teknis.
“Tidak perlu sampe kisi-kisi soalnya diberikan ke para paslon. Untuk debat kedua sampe kelima, hal ini tidak perlu diulang kembali,” ujarnya.
Hal sebaliknya disampaikan Yunarto. Menurut dia, untuk meningkatkan kualitas debat di Indonesia, kisi-kisi pertanyaan perlu disampaikan kepada para kandidat. Hal itu dilakukan supaya mereka dapat mempersiapkan jawaban yang lebih mendalam dan tajam.
“Namun, dengan catatatan bahwa moderator debat harus menguasai materi dan bisa memperdalam setiap jawaban mereka,” kata Yunarto. (MELATI MEWANGI)